21 November 2013

Patogenesis tuberkulosis

Lesi primer tuberkulosis (TB) awal hanya bisa dipelajari pada binatang percobaan, karena lesi awal pada manusia hampir tidak mungkin bisa didapatkan. Namun demikian urutan patogenesis TB pada manusia juga terjadi pada kelinci.


Fase I: Fase transmisi
Pada saat terjadi inhalasi, sebagian kecil kuman Mycobacterium tuberculosis akan mencapai bronkus respiratorius, sedang sebagian besar lainnya menempel pada epitel saluran napas atas yang selanjutnya akan dieliminasi melalui gerakan mukosilier. Kuman TB yang mencapai saluran napas distal tidak semuanya menyebabkan "infeksi". Pada keadaan normal (sebelum "infeksi" dimulai) hampir semua makrofag alveolar sudah teraktivasi secara nonspesifik. Pada keadaan tertentu, makrofag alveolar dapat menelan dan menghancurkan kuman TB sebelum kuman tersebut membelah. 

Penghancuran kuman bergantung pada kekuatan makrofag alveolar, genetik dan virulensi kuman. Kuman virulen dalam makrofag alveolar yang relatif lemah akan mampu membelah dan mengawali penyakit sedang kuman lemah dalam makrofag alveolar yang kuat akan segera dihancurkan atau dihambat sebelum pembelahan kuman terjadi.

Fase II: Awal infeksi, proliferasi dan penyebaran
Fase ini disebut juga fase simbiosis yang terjadi antara 7-21 setelah infeksi. Kuman membelah secara
Proliferasi kuman TB pada kelinci resisten dan rentan

logaritmik dengan kecepatan yang sama baik pada kelinci yang resisten maupun rentan. Namun pada yang rentan lebih meningkat jika dibandingkan dengan resisten sebagaimana terlihat pada gambar sebelah. 


Setelah kontak dengan kuman maka membran plasma makrofag mengalami invaginasi dan kemudian membentuk vakuola yang akan menyelimuti seluruh kuman seperti terlihat pada gambar di bawah. Vakuola akan membentuk fagolisosom setelah mengadakan fusi dengan lisosom yang mengandung enzim hidrolitik (aktif dalam suasana asam). Akibatnya sel-sel kuman akan dicerna dalam vakuola dan debris yang terbentuk akan disekresi dengan cara eksositosis. 

Fagositosis kuman TB oleh makrofag alveolar
Jika makrofag alveolar gagal menghancurkan atau menghambat pertumbuhan kuman maka kuman di dalamnya akan membelah sampai makrofag tersebut pecah. Kuman yang keluar akan ditelan oleh makrofag alveolar lainnya dan oleh makrofag nonaktif seperti monosit yang keluar dari aliran darah. Kedua tipe makrofag tersebut bergerak ke lokasi karena pelepasan kuman, debris selular dan berbagai kemotaktik pejamu seperti komponen komplemen 5a (C5a) dan sitokin monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1).  Makrofag imatur baru dari aliran darah dengan cepat menelan kuman. Selanjutnya terjadi hubungan simbiosis, makrofag dan kuman tidak saling menghancurkan. Makrofag yang baru belum teraktivasi sehingga tidak menghambat atau menghancurkan kuman sedang kuman tidak menyerang makrofag karena pada pejamu belum terjadi hipersensitiviti tipe-tuberkulin. Makin lama semakin banyak makrofag dan kuman berkumpul di lesi.

Fase III: fase pembentukan respons imun
Selama beberapa hari atau minggu awal infeksi TB primer, respons kompleks sedang disiapkan oleh pejamu. Walaupun lekosit PMN telah aktif pada awal inflamasi namun mereka tidak bekerja dengan baik. Respons humoral atau antibodi yang biasanya merupakan pusat pertahanan terhadap bakteri patogen, peranannya bisa diabaikan dalam melawan tuberkulosis. Namun demikian sistem komplemen ikut berperan pada tahap awal fagositosis.

Setelah 4-8 minggu infeksi akan dibentuk mekanisme pertahanan spesifik yaitu terjadi sensitisasi sel T terhadap antigen spesifik. Mekanisme pertahanan spesifik pada tuberkulosis ditandai dengan dimulainya respons cell-mediated immunity (CMI) dan delayed-type hipersensitivity (DTH) yang akan meningkatkan kemampuan pejamu untuk menghambat atau mengeliminasi kuman. Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat hubungannya dan timbul akibat aktivasi sel T yang bersifat spesifik. Kedua fenomena yang belum dapat dipisahkan tersebut terjadi melalui mekanisme respons imun yang sama dan akan mengubah respons pejamu terhadap pajanan antigen berikutnya. 

Respons DTH ditandai dengan nekrosis perkijuan akibat lisisnya sel-sel makrofag alveoli yang belum teraktivasi sedang respons CMI timbul setelah makrofag alveoli teraktivasi sehingga menjadi sel epiteloid matur. Pada binatang percobaan didapatkan bahwa kedua respons imun tersebut terjadi pada pejamu yang rentan maupun resisten tetapi dengan derajat berbeda. Pada pejamu resisten didapatkan rasio sel-sel epiteloid terhadap nekrosis perkijuan jauh lebih besar dibandingkan pejamu rentan.

Keseimbangan antara CMI dan DTH akan menentukan bentuk penyakit yang akan berkembang. Respons CMI akan mengaktifkan makrofag dan kuman dibunuh secara intraselular, sedang respons DTH menyebabkan nekrosis perkijuan dan pertumbuhan kuman dihambat secara ekstraselular. Keduanya merupakan respons imun yang sangat efektif menghambat perjalanan penyakit. Untuk keberhasilan pengelolaan TB, diperlukan pengetahuan tentang saling pengaruh antara kedua respons imun tersebut dan perubahan rasio antara keduanya.

Kuman M.tb dalam makrofag akan dipresentasikan ke sel Th1 melalui major histocompatibility comples (MHC) kelas II.  Sel Th1 selanjutnya akan mensekresi IFN-g yang akan mengaktifkan makrofag sehingga dapat menghancurkan kuman yang telah difagosit. Jika kuman tetap hidup dan melepas antigennya ke sitoplasma maka akan merangsang sel CD8 melalui MHC kelas I. Sel CD8 yang bersifat sitolitik selanjutnya akan melisiskan makrofag. Tidak semua makrofag akan teraktivasi oleh IFN-g yang dihasilkan oleh Th1 sehingga sel-sel yang terlewat tersebut selanjutnya akan dilisiskan melalui mekanisme DTH.

Respons DTH pada infeksi TB ditandai dengan peningkatan sensitiviti makrofag tidak teraktivasi terhadap efek toksik TNF-a. Makrofag tidak teraktivasi tersebut merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman sehingga perlu dihancurkan untuk menghambat proliferasi kuman lebih lanjut.

Lurie dan Dannenberg pada tahun 1991 menyimpulkan bahwa sel yang datang ke tempat infeksi membentuk lingkaran konsentrasi, sel yang datang lebih awal berkumpul di tengah sedang sel berikutnya tersusun di sebelah luarnya. Pusat lingkaran tersusun atas debris dari makrofag paling awal yang telah menelan kuman TB dan kemudian terbunuh oleh proliferasi kuman tersebut. Setiap generasi makrofag yang tertarik ke lesi secara berurutan akan makin kompeten sesuai dengan perkembangan respons imun.

Perkembangan infeksi berhubungan dengan kemampuan makrofag sekitar lesi mengendalikan proliferasi dan penyebaran kuman TB. Pada hampir semua pejamu normal, lesi primer dalam paru akan membaik karena pengaruh pertahanan selular atau CMI. Pada sebagian pejamu kemampuan meningkatkan respons imun lemah sehingga tidak mampu mengendalikan TB. Pejamu tersebut secara klinis akan menderita TB beberapa minggu sampai bulan sesudah infeksi primer. Termasuk dalam kelompok ini adalah bayi (sistem imun imatur), usia lanjut (kompetensi imun merosot dengan bertambahnya usia) dan immunocompromised (khususnya orang dengan HIV atau AIDS.

Fase IV: Pencairan jaringan, pembentukan kavitas dan proliferasi M. tuberculosis
Unsur utama respons imun adalah kemampuan membatasi proliferasi atau daya tahan hidup kuman TB dalam makrofag teraktivasi (proses CMI) dan kemampuan menghancurkan makrofag inkompeten yang membiarkan kuman berkembang di dalamnya. Kuman dari makrofag inkompeten yang telah hancur akan ditelan oleh makrofag generasi berikutnya yang lebih imunokompeten (proses DTH).

Kedua proses tersebut memerlukan dukungan sitokin, makrofag dan lekosit PMN. Sel-sel tersebut sebagian mati saat berinteraksi dengan kuman, melepaskan banyak enzim proteolitik yang kuat. Enzim tersebut juga memudahkan terjadinya trombosis pembuluh darah lokal. Kombinasi faktor-faktor tersebut mengakibatkan proses pencairan lesi perkijuan, menyediakan lingkungan dan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan kuman TB.

Pencairan lesi perkijuan merupakan tanda transisi interaksi antara pejamu dengan kuman. Sebelumnya kuman dapat ditekan pertumbuhannya dalam lingkungan intraselular oleh pertahanan selular. Dalam lingkungan debris cair, kuman TB untuk pertama kalinya membelah dengan cepat dalam lingkungan ekstraselular. Sejalan dengan replikasi kuman, terjadi inflamasi yang menghancurkan jaringan lokal. Kerusakan meluas sampai struktur percabangan bronkus selanjutnya bahan cair keluar lewat saluran napas meninggalkan ruang kosong yang disebut kavitas. Bahan cair bisa keluar karena batuk, bisa juga menyebar ke bagian paru lain lewat percabangan bronkus.

5 komentar:

AMZ ANCREENG mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
klikparu mengatakan...

ada beberapa kepustakaan:
1. Dannenberg AM, Rook GAW. Pathogenesis of pulmonary tuberculosis: interplay of tissue-damaging and macrophage-activating imune responses, dual mechanism that control bacillary multiplication. In: Bloom BR. editor. Tuberculosis: pathogenesis, protection and control. Washington: ASM Press; 1994.p.459-84.
2. Iseman MD. Immunity and pathogenesis. In: A clinician’s guide to tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000.p.63-96.
3. Schluger NW, Rom WN. The host immune response to tuberculosis-State of the art. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157:679-91.
4. dll, mohon maaf lupa, udah cukup lama menulisnya.

Yanagika mengatakan...

Dok hasil rontgen katanua tb paru dd pneumonia, hasil bta positif 1.. gejala kerinfat banyak,ga dema, kurus, sesak napas, perokok, dahak pertama hitam, abis diobat dahaknya jadi biru, abis itu jadi kuning. Pas liat rontgennya kayak awan tebal gitu dok.. sebenernya ini tb paru ato pneumonia dok? Saya agak ragu sama rontgennya yg bilang dd pneumonia.. apa ini pneumonia? Tp hasil bta nya positif 1.

Ahmad Subagyo mengatakan...

Yanagi: berdasarkan hasil foto dan informasi singkat yang Anda sampaikan, kesan saya Anda menderita TB paru saja ATAU TB paru dan pneumonia. Jika hanya TB paru pengobatan cukup obat anti TB selama minimal 6 bulan, bila menderita keduanya perlu minum obat TB ditambah anti biotik selama kira-kira 1 - 2 minggu.

Yanagika mengatakan...

Apakah bisa tb paru disertai pneumonia? saya kira tb paru gak bisa disatuin sama pneumonia..