Pemberian terapi oksigen sebaiknya dikerjakan dengan tepat dan hati-hati, sebagaimana kita memberikan obat kepada pasien. oksigen, seperti pada sebagian besar obat, mempunyai kisaran dosis aman. Efek fisiologis yang merugikan, dan efek toksik yang berhubungan dengan dosis lebih tinggi dan penggunaan lama.
Untuk koreksi hipoksemia, oksigen perlu diberikan agar terjadi saturasi hemoglobin 92% atau lebih, sehingga tercapai PaO2 60-70 mmHg. Pemberian oksigen tambahan akan meningkatkan saturasi hemoglobin, saat tersaturasi penuh (99-100%) pasien mulai berisiko terkena efek toksik oksigen. Berikut ini beberapa komplikasi yang berhubungan dengan pemberian oksigen tambahan.
Hipoventilasi dan narkosis karbondioksida
Hipoventilasi akibat pemberian oksigen bisa terjadi akibat supresi pada hipoxic respiratory drive. Pada keadaan normal, karbondioksida merupakan pengendali stimulan utama sistem respirasi. Namun, pada pasien dengan hiperkapnia kronik (PaCO2 > 45 mmHg), respons terhadap peningkatan kadar CO2 menjadi tumpul dan hipoksemia menjadi stimulan utama sistem ventilasi. Pemberian gas yang kaya oksigen pada pasien seperti ini bisa menyebabkan hipoventilasi, hiperkapnia dan apnea.
Pada keadaan demikian, oksigen sebaiknya diberikan pada kadar rendah (< 30%) dan pasien dipantau terhadap tanda-tanda depresi nafas. Jika oksigenasi ternyata tidak adekuat dan terjadi depresi nafas, segera dipasang ventilasi mekanis.
Atelektasis absorbsi
Atelektasis absorbsi terjadi ketika alveoli kolaps akibat gas dalam alveoli diabsorbsi masuk kedalam aliran darah. Nitrogen, gas yang relatif tidak mudah larut, pada keadaan normal mempertahankan volume residu dalam alveoli. Selama pernapasan dengan kadar oksigen yang tinggi, nitrogen bisa tersingkir atau "tercuci" dari alveoli. Ketika oksigen dalam alveoli kemudian diabsorbsi ke dalam kapiler pulmonal, akan terjadi kolaps total pada sebagian alveoli.
Atelektasis absorbsi lebih mudah terjadi pada area dengan penurunan ventilasi, seperti pada saluran napas sebelah distal dari obstruksi parsial, karena oksigen diabsorbsi ke dalam darah dengan kecepatan lebih tinggi dari pada oksigen pengganti.
Keracunan oksigen
Pajanan oksigen bertekanan tinggi pada jaringan paru bisa menyebabkan perubahan jaringan menjadi patologis. Derajad cedera berhubungan denga lamanya pajanan dan tekanan oksigen yang dihirup, bukan PaO2. Secara umum, FiO2 > 0,5 menyebabkan keracunan. Tanda pertama keracunan oksigen adalah akibat efek iritasi oksigen dan refleks trakeobronkitis akut. Setelah beberapa jam bernapas dengan oksigen 100%, fungsi mukosiliar akan tertekan dan terjadi gangguan pembersihan mukus. Dalam 6 jam pemberian oksigen 100%, bisa terjadi batuk nonproduktif, nyeri substernal, dan hidung tersumbat. Bisa juga terjadi malaise, mual, anoreksia, dan nyeri kepala. Keluhan tersebut akan hilang setelah terapi oksigen dihentikan.
Pajanan oksigen bertekanan tinggi dalam waktu lebih lama akan menyebabkan perubahan paru yang
menyerupai ARDS. Gangguan lapisan endotel pada mikrosirkulasi paru menyebabkan kebocoran cairan berisi protein. Eksudat yang terjadi berupa edema, perdarahan, dan sel darah putih dalam paru. Kerusakan pada paru tersebut bisa menyebabkan kematian sel.
Fungsi makrofag alveolar juga mengalami tekanan, menjadikan pasien lebih rentan terhadap infeksi. Cedera jaringan paru akibat hipoksemia merupakan penyebab produksi radikal bebas oksigen yang menekan pertahanan antioksidan tubuh. Penghentian pajanan oksigen dosis toksis akan memberi kesempatan sel memulai perbaikan, perbaikan bisa juga berakibat terbentuknya fibrosis paru dalam berbagai derajad kelainan.
Menghindari penggunaan oksigen berkonsentrasi tinggi jangka panjang merupakan kunci untuk menghindari cedera paru akibat oksigen tekanan tinggi. Nilai FiO2 paling rendah yang mampu menyediakan cukup oksigen bagi tubuh merupakan pedoman terbaik titrasi terapi oksigen.
Retrolental fibroplasia
Pemberian sejumlah besar oksigen pada bayi prematur menyebabkan konstriksi pembuluh darah retina yang masih prematur, kerusakan sel endotel, terlepasnya retina, dan kemungkinan kebutaan. Cedera yang terjadi berhubungan dengan PaO2, maka dianjurkan PaO2 dijaga pada kisaran 60 - 90 mmHg pada neonatus.
Untuk koreksi hipoksemia, oksigen perlu diberikan agar terjadi saturasi hemoglobin 92% atau lebih, sehingga tercapai PaO2 60-70 mmHg. Pemberian oksigen tambahan akan meningkatkan saturasi hemoglobin, saat tersaturasi penuh (99-100%) pasien mulai berisiko terkena efek toksik oksigen. Berikut ini beberapa komplikasi yang berhubungan dengan pemberian oksigen tambahan.
Hipoventilasi dan narkosis karbondioksida
Hipoventilasi akibat pemberian oksigen bisa terjadi akibat supresi pada hipoxic respiratory drive. Pada keadaan normal, karbondioksida merupakan pengendali stimulan utama sistem respirasi. Namun, pada pasien dengan hiperkapnia kronik (PaCO2 > 45 mmHg), respons terhadap peningkatan kadar CO2 menjadi tumpul dan hipoksemia menjadi stimulan utama sistem ventilasi. Pemberian gas yang kaya oksigen pada pasien seperti ini bisa menyebabkan hipoventilasi, hiperkapnia dan apnea.
Pada keadaan demikian, oksigen sebaiknya diberikan pada kadar rendah (< 30%) dan pasien dipantau terhadap tanda-tanda depresi nafas. Jika oksigenasi ternyata tidak adekuat dan terjadi depresi nafas, segera dipasang ventilasi mekanis.
Atelektasis absorbsi
Atelektasis absorbsi terjadi ketika alveoli kolaps akibat gas dalam alveoli diabsorbsi masuk kedalam aliran darah. Nitrogen, gas yang relatif tidak mudah larut, pada keadaan normal mempertahankan volume residu dalam alveoli. Selama pernapasan dengan kadar oksigen yang tinggi, nitrogen bisa tersingkir atau "tercuci" dari alveoli. Ketika oksigen dalam alveoli kemudian diabsorbsi ke dalam kapiler pulmonal, akan terjadi kolaps total pada sebagian alveoli.
Atelektasis absorbsi lebih mudah terjadi pada area dengan penurunan ventilasi, seperti pada saluran napas sebelah distal dari obstruksi parsial, karena oksigen diabsorbsi ke dalam darah dengan kecepatan lebih tinggi dari pada oksigen pengganti.
Keracunan oksigen
Pajanan oksigen bertekanan tinggi pada jaringan paru bisa menyebabkan perubahan jaringan menjadi patologis. Derajad cedera berhubungan denga lamanya pajanan dan tekanan oksigen yang dihirup, bukan PaO2. Secara umum, FiO2 > 0,5 menyebabkan keracunan. Tanda pertama keracunan oksigen adalah akibat efek iritasi oksigen dan refleks trakeobronkitis akut. Setelah beberapa jam bernapas dengan oksigen 100%, fungsi mukosiliar akan tertekan dan terjadi gangguan pembersihan mukus. Dalam 6 jam pemberian oksigen 100%, bisa terjadi batuk nonproduktif, nyeri substernal, dan hidung tersumbat. Bisa juga terjadi malaise, mual, anoreksia, dan nyeri kepala. Keluhan tersebut akan hilang setelah terapi oksigen dihentikan.
Pajanan oksigen bertekanan tinggi dalam waktu lebih lama akan menyebabkan perubahan paru yang
menyerupai ARDS. Gangguan lapisan endotel pada mikrosirkulasi paru menyebabkan kebocoran cairan berisi protein. Eksudat yang terjadi berupa edema, perdarahan, dan sel darah putih dalam paru. Kerusakan pada paru tersebut bisa menyebabkan kematian sel.
Fungsi makrofag alveolar juga mengalami tekanan, menjadikan pasien lebih rentan terhadap infeksi. Cedera jaringan paru akibat hipoksemia merupakan penyebab produksi radikal bebas oksigen yang menekan pertahanan antioksidan tubuh. Penghentian pajanan oksigen dosis toksis akan memberi kesempatan sel memulai perbaikan, perbaikan bisa juga berakibat terbentuknya fibrosis paru dalam berbagai derajad kelainan.
Menghindari penggunaan oksigen berkonsentrasi tinggi jangka panjang merupakan kunci untuk menghindari cedera paru akibat oksigen tekanan tinggi. Nilai FiO2 paling rendah yang mampu menyediakan cukup oksigen bagi tubuh merupakan pedoman terbaik titrasi terapi oksigen.
Retrolental fibroplasia
Pemberian sejumlah besar oksigen pada bayi prematur menyebabkan konstriksi pembuluh darah retina yang masih prematur, kerusakan sel endotel, terlepasnya retina, dan kemungkinan kebutaan. Cedera yang terjadi berhubungan dengan PaO2, maka dianjurkan PaO2 dijaga pada kisaran 60 - 90 mmHg pada neonatus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar