11 Maret 2013

PENYAKIT PARU KETINGGIAN, pada pendaki gunung

Setiap tahun jutaan orang berada di ketinggian karena berbagai keperluan misalnya mendaki gunung, ski, hiking atau dalam pesawat udara. Penurunan tekanan barometer pada ketinggian menyebabkan penurunan tekanan partial oksigen (pO2) inspirasi, bisa menjadi masalah pada sebagian orang. Namun sulit untuk mengetahui pada ketinggian berapa seseorang dapat mengalami gangguan akibat ketinggian.

Tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear menjadi 50% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% pada ketinggian 8900 meter. Seiring dengan penurunan pO2, tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi. Hipoksia juga akan menyebabkan vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi pulmoner dan high altitude pulmonary oedema (HAPE).

EFEK FISIOLOGI PARU TERHADAP KETINGGIAN
Ventilasi
Respons ventilasi merupakan keadaan fisiologis (normal) yang terjadi akibat ketinggian. Peningkatan ventilasi terjadi bila tekanan oksigen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa (kilopascal) atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen dalam alveoli sebesar 8 kPa. Peningkatan ventilasi merupakan merupakan akibat perangsangan hipoksia pada badan carotid yang responsnya berbeda pada setiap individu.  Ablasi badan carotid pada binatang percobaan menyebabkan respons ventilasi terhadap hipoksia menghilang. Hipoksia akut menyebabkan peningkatan ventilasi dan setelah 15 menit terjadi pengurangan hiperventilasi sekitar 25-30%.
Aliran darah pulmoner
Hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik. Efek ini diakibatkan oleh perangsangan simpatis sistem kardiovaskuler yang menyebabkan perangsangan kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi paru. Peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsangan saraf simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan rerata tekanan arteri pulmoner yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner dan peningkatan kerja ventrikel kanan.

Difusi
Penurunan tekanan parsial oksigen dalan udara inspirasi menyebabkan penurunan tekanan oksigen kapiler alveolar. Banyaknya oksigen yang berdifusi ke dalam darah tergantung waktu sel darah merah melewati kapiler paru, biasanya membutuhkan waktu 0,25 detik pada permukaan laut. Keseimbangan oksigen yang adekuat tidak terjadi pada ketinggian walaupun waktu melewati kapiler paru menjadi 0,75 detik. Peningkatan kapasitas difusi terjadi pada penduduk yang tinggal di ketinggian, seperti yang terlihat pada anak-anak di pegunungan Andes. Peningkatan kapasitas difusi sebagian besar disebabkan peningkatan peningkatan volume darah kapiler sehingga terjadi pelebaran kapiler dan peningkatan luas permukaan difusi oksigen.

Efek hematologi.
Kadar hemoglobin meningkat pada hari pertama sampai kedua pendakian dan terus meningkat sampai beberapa minggu akibat peningkatan viskositas darah. Selanjutnya hipoksia akan merangsang apparatus juxtaglomerular ginjal memproduksi eritropoetin sehingga produksi hemoglobin meningkat, hasilnya kandungan oksigen meningkat.

Pernapasan periodic
Pendaki yang tidur pada ketinggian di atas 3000 meter umumnya mengalami pernapasan periodic, yaitu periode hiperpnea kemudian diikuti apnea selama 3-10 detik. Selama periode apnea, individu sering merasa lelah dan terbangun karena perasaan seperti tercekik. Pernapasan periodic dapat berkurang pada aklimatisasi dan akan hilang bila turun dari ketinggian.

HIGH ALTITUDE PULMONARY OEDEMA (HAPE)
HAPE merupakan penyebab tersering kematian akibat ketinggian. Angka kematian HAPE tanpa penanganan bisa 50% namun dengan penanganan yang baik angka kematian bisa ditekan sampai di bawah 3%. Kejadian HAPE berhubungan dengan kecepatan pendakian, ketinggian yang dicapai, udara dingin dan kerentanan individu. Individu dengan riwayat HAPE sebelumnya  mempunyai risiko lebih besar untuk terkena kembali. HAPE sering terjadi pada pendaki berusia muda yang mendaki dengan cepat pada ketinggian lebih dari 2500 meter. Faktor genetik juga berperan sebagai predisposisi terjadinya HAPE dengan ditemukannya alel HLA-DR6 dan HLA-DQ4 pada subjek dengan riwayat HAPE. HAPE biasanya terjadi pada hari kedua sampai keempat pendakian, paling sering malam kedua dan mempunyai ciri khas perburukan pada malam hari.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat minimal dua tanda dan gejala berikut:
·      Gejala: penurunan tampilan (performance), kelelahan, rasa lemah, batuk kering, dispnea saat istirahat, rasa berat di dada
·      Tanda: ronki pada lobus tengah dan basal paru, mengi, sianosis sentral, takikardi, demam (>38,5 0C), ortopnea, sputum kemerahan dan berbusa bila kondisi  memberat.
EKG memperlihatkan sinus takikardi, deviasi aksis ke kanan, elevasi segmen ST dan gelombang P abnormal. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat  (PaO2 30-40 mmHg) dan alkalosis respiratorik.
Patofisiologi HAPE berhubungan dengan hipertensi pulmoner dan peningkatan tekanan kapiler akibat vasokonstriksi hipoksik pulmoner. Kedua mekanisme tersebut terjadi karena aktivitas berlebihan saraf simpatis, disfungsi endotel dan hipoksemia berat akibat buruknya respons pernapasan terhadap hipoksia. Peningkatan tekanan kapiler akibat vasokonstriksi hipoksik pulmoner yang tidak merata menyebabkan kerusakan dinding kapiler paru karena tekanan yang sangat tinggi. Kerusakan tersebut dianggap sebagai penyebab ekstravasasi plasma dan sel ke rongga alveolar. Mekanisme lain yang mungkin berperan adalah inflamasi, meskipun bukan sebagai penyebab utama.
Penatalaksanaan HAPE tergantung beratnya penyakit dan keadaan lingkungan. Semakin cepat didiagnosis semakin mudah ditangani. Pada daerah ketinggian, oksigen dan peralatan medic jarang tersedia, penanganan paling baik adalah turun secepat mungkin. Bila HAPE cepat terdiagnosis, perbaikan segera terlihat pada penurunan 500 – 1000 meter dan penderita dapat mendaki lagi 2 atau 3 hari kemudian. Oksigen atau ruang hiperbarik dapat segera meningkatkan saturasi oksigen, menurunkan tekanan arteri pulmoner, frekuensi jantung, frekuensi napas dan gejala lain. Oksigen diberikan 2-4 liter/menit menggunakan kanula atau masker hidung.
Kedinginan dapat meningkatkan tekanan arteri pulmoner sehingga penting membuat pasien tetap hangat. Penggunaan masker bertekanan positif dapat meningkatkan oksigenasi pada penderita HAPE walaupun efikasinya belum dievaluasi. Tirah baring dan suplementasi oksigen cukup untuk HAPE ringan sampai sedang. Perbaikan menyeluruh edema terjadi setelah pemberian suplemen oksigen selama 24-72 jam.
Pemberian vasodilator seperti golongan kalsium antagonis (Nifedipin) menurunkan tekanan arteri pulmoner dan tahanan vaskuler paru serta memperbaiki oksigenasi. Nifedipin diberikan dengan dosis awal 10 mg (oral) selanjutnya 10 mg tiap 4 jam. Setelah penderita stabil diteruskan dengan formula lepas lambat 20-30 mg peroral setiap 8 atau 12 jam. Inhalasi beta agonis (misalnya salmeterol) mungkin berguna untuk pencegahan dan pengobatan HAPE. Beta agonis dapat meningkatkan bersihan cairan dari ruang alveolar dan menurunkan tekanan arteri pulmoner.
Pencegahan
Pendakian dengan cepat merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya HAPE sehingga diperlukan tahapan dalam mendaki untuk menghindari risiko. Hindari mendaki pada malam hari lebih dari 3000 meter dan istirahat 2 malam sebelum pendakian selanjutnya.
Nifedipin dapat diberikan pada pendaki dengan riwayat HAPE sebelumnya dengan dosis 20 mg/8 jam. Azetazolamid 250 mg peroral dapat diberikan 1 atau 2 hari sebelum pendakian untuk menstimulasi pernapasan sehingga saturasi oksigen dapat meningkat selama pernapasan periodik.

Tidak ada komentar: