Edema paru pada keadaan akut merupakan keadaan darurat medis yang dapat mengancam jiwa penderita, sedangkan edema paru kronik dapat menyebabkan kecacatan dan mengurangi aktivitas penderita.
Sangat penting untuk diingat
bahwa edema paru adalah salah satu kondisi kegawatan yang tersering dan sangat
mengancam jiwa. Penatalaksanaan yang agresif harus segera dilakukan setelah
dicurigai diagnosis edema
paru. Tanda dan gejala yang tampak adalah representasi perpindahan cairan dari
kompartemen intravaskular ke
dalam jaringan interstisial dan selanjutnya ke dalam alveoli. Kelainan kardiak
dan nonkardiak dapat menyebabkan edema paru sehingga kita harus mengetahui
kondisi dasar yang mencetuskan edema paru agar penatalaksanaan yang dilakukan
tepat dan berhasil. Kadang masalahnya kompleks karena pada pasien selain
terdapat problem kardiak sekaligus
terdapat juga problem nonkardiak.
Fisiologi
Ruang alveolus dibatasi oleh sel epitel tipe I yang menutupi 98% permukaan alveolus dan sel epitel tipe II berbentuk polygonal yang tersebar di antaranya. Kedua bentuk sel tersebut bersama-sama membentuk dinding epitel yang akan menghalangi perpindahan cairan dan protein menembus alveolus. Cairan akan keluar dari kapiler jika perbedaan tekanan hidrostatik antara kapiler dan interstisial lebih besar daripada perbedaan tekanan onkotik antara kapiler dan interstisial.
Ruang alveolus dibatasi oleh sel epitel tipe I yang menutupi 98% permukaan alveolus dan sel epitel tipe II berbentuk polygonal yang tersebar di antaranya. Kedua bentuk sel tersebut bersama-sama membentuk dinding epitel yang akan menghalangi perpindahan cairan dan protein menembus alveolus. Cairan akan keluar dari kapiler jika perbedaan tekanan hidrostatik antara kapiler dan interstisial lebih besar daripada perbedaan tekanan onkotik antara kapiler dan interstisial.
Patofisiologi
Cairan dan protein pada keadaan normal tidak dapat pindah dari ruang mikrovaskuler ke alveoli karena membran alveolar mempunyai permeabilitas yang sangat rendah dan cairan yang difiltrasi terus menerus dialihkan dari dindng alveolar menuju saluran limfe. Membrane alveolar-kapiler terdiri atas dua area fungsionil yang berbeda. Pada sisi yang tipis terdapat fusi membrane basalis epitel alveolar dan membrane basalis kapiler paru sehingga tidak tidak ada ruang interstisial, berfungsi untuk pertukaran gas. Sisi tebal di antara membrane basalis alveolar dan membrane basalis kapiler dipisahkan oleh matriks kolagen yang berisi serat elastin, polimer asam hialuronat, mukoplisakarida dan fibroblast. Sisi tebal ini berfungsi untuk pertukaran cairan dan juga sebagai jaringan penunjang kapiler. Edema interstisial merupakan penebalan sisi tebal ini.
Cairan dan protein pada keadaan normal tidak dapat pindah dari ruang mikrovaskuler ke alveoli karena membran alveolar mempunyai permeabilitas yang sangat rendah dan cairan yang difiltrasi terus menerus dialihkan dari dindng alveolar menuju saluran limfe. Membrane alveolar-kapiler terdiri atas dua area fungsionil yang berbeda. Pada sisi yang tipis terdapat fusi membrane basalis epitel alveolar dan membrane basalis kapiler paru sehingga tidak tidak ada ruang interstisial, berfungsi untuk pertukaran gas. Sisi tebal di antara membrane basalis alveolar dan membrane basalis kapiler dipisahkan oleh matriks kolagen yang berisi serat elastin, polimer asam hialuronat, mukoplisakarida dan fibroblast. Sisi tebal ini berfungsi untuk pertukaran cairan dan juga sebagai jaringan penunjang kapiler. Edema interstisial merupakan penebalan sisi tebal ini.
Mekanisme yang mempertahankan agar jaringan interstisial dan alveolus
tetap kering adalah:
1.
Tekanan onkotik plasma (25 mmHg) lebih tinggi
daripada tekanan onkotik interstisial (7-12 mmHg)
2.
Barier jaringan ikat dan seluler relative
impermeable terhadap protein plasma
3.
Sistem limfa
Volume cairan ekstravaskular
dalam paru pada keadaan normal kurang dari 500 ml. Meskipun penumpukan cairan
melebihi 500 ml kita sebut abnormal (menurut definisi) namun gejala dan
kelainan fungsi paru biasanya belum terjadi sampai cairan ekstravaskuler
melebihi 75-100% volume normal. Cadangan fifiologis tersebut diperankan oleh
jaringan interstisial.
Apapun penyebabnya, akbatnya terhadap paru tetap sama yaitu edema paru
yang terjadi dalam 3 tahap:
· Tahap 1.
Terjadi peningkatan perpindahan cairan koloid dari kapiler ke ruang
interstisial tapi masih diikuti oleh peningkatan aliran limfatik.
· Tahap 2.
Terjadi bila kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga cairan dan
kristaloid mulai terakumulasi dalam ruang interstisial sekitar bronkioli,
arteriol dan venula (pada foto toraks terlihat sebagai edema paru interstisial)
· Tahap 3.
Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveolus. Pada tahap
ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas
Secara histologis
kerusakan tampak berubah dengan berjalannya waktu dan dibagi menjadi 3 fase yang saling berhubungan dan tumpang
tindih sebagai berikut:
·
Stage I:
fase eksudatif, ditandai dengan ekstravasasi cairan kaya protein ke dalam
ruang interstisial dan alveoli.
· Stage II:
fase proliferative. Sesuai dengan perkembangan penyakit, edema disertai
respons seluler yang kuat dan berhubungan dengan perdarahan, nekrosis selular,
hiperplasi sel pneumosit tipe II, deposisi fibrin dan oklusi vaskuler oleh
trombosit.
· Stage III:
fase fibrotic. Pada pasien yang masih masih bertahan,
proses perbaikan terjadi ditandai dengan fibrosis dan penebalan septa alveolar,
akibatnya terjadi pembesaran tak beraturan ruang udara dan obliterasi vaskuler
Pertukaran gas
Edema paru menyebabkan hipoksemia dengan cara menganggu keseimbangan
ventilasi perfusi. Perfusi yang tetap mengalir pada alveoli yang dipenuhi
cairan dan atelektasis akan menyebabkan gangguan keseimbangan ventilasi perfusi
pada bagian paru tersebut sehingga
menimbulkan intrapulmonary shunt.
Pada orang normal, shunt intrapulmonal merupakan sebagian kecil curah jantung
namun pada edema paru shunt bisa mencapai 25 – 50% curah jantung. Karena aliran
darah di daerah shunt tidak bertemu dengan udara alveolus maka suplementasi
oksigen nilainya kecil.
Kerja pernapasan (work of
breathing)
Kerja pernapasan meningkat pada edema paru dan efeknya akan berlipat
ganda bila juga disertai dengan takipneu. Kerja pernapasan pada subjek normal
hanya mengambil sebagian kecil konsumsi oksigen tubuh, namun pada edema paru
berat (tanpa dukungan ventilasi mekanik) akan menghabiskan 25-50% konsumsi
oksigen total tubuh. Untuk memenuhi
kebutuhan energy yang diperlukan pada tingkat kerja tersebut, penigkatan curah
jantung harus dibagi selain kepada sistem organ vital juga pada otot
pernapasan. Untuk alasan tersebut, salah satu keuntungan dukungan ventilasi
mekanik selama edema paru berat untuk mengutrangi kerja pernapasan pasien
sehingga aliran darah bisa dipindahkan menuju organ vital lainnya.
Klasifikasi.
Walaupun lebih mudah mengelompokkan edema paru menjadi kardiogenik dan nonkardiogenik namun pengelompokan tersebut tidak benar-benar tegas. Ada tumpang tindih pada penampilan klinis, patofisiologi dan tatalaksana kedua kelompok edema paru tersebut. Kidess (1995) membagi edema paru berdasarkan penyebabnya sebagai berikut
Walaupun lebih mudah mengelompokkan edema paru menjadi kardiogenik dan nonkardiogenik namun pengelompokan tersebut tidak benar-benar tegas. Ada tumpang tindih pada penampilan klinis, patofisiologi dan tatalaksana kedua kelompok edema paru tersebut. Kidess (1995) membagi edema paru berdasarkan penyebabnya sebagai berikut
·
Edema paru kardiogenik (hidrostatik),
·
Edema paru nonkardiogenik (permeability),
·
Edema paru campuran atau patogenesisnya belum
diketahui
o Edema
paru karena ketinggian (high-altitude pulmonary edema/HAPE)
o Edema
paru neurogenik
o Re-expansion pulmonary edema
o Overedosis
narkotik
o Tocolytic therapy
o Uremia
Sedang Braundwauld (1997) membagi edema paru berdasarkan mekanisme
pencetusnya sebagai berikut:
1.
Ketidakimbangan Starling-Force
a.
Peningkatan tekanan vena pulmonalis
i.
Tanpa gagal ventrikel kiri (missal: stenosis
mitral)
ii.
Sekunder karena gagal ventrikel kiri
b.
Penurunan tekanan onkotik plasma, pada
hipoalbuminemia
c.
Peningkatan tekanan negative interstisial, pada
tatalaksana pneumotoraks dengan tekanan negative yang tinggi
2.
Gangguan permeabilitas membrane kapiler alveoli
a.
Pneumonia (bakteri, virus atau parasit)
b.
Inhalasi toksin (NO, asap)
c.
Pancreatitis hemoragik akut
d.
Aspirasi asam lambung
e.
Pneumonitis akut akibat radiasi
f.
Zat vasoaktif endogen (histamine, kinin)
g.
Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
h.
Imunologi: pneumonitis hipersensitif
i.
Shock-lung
pada trauma bukan dada
j.
Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
3.
Insufisiensi sistem limfe
a.
Pasca transplantasi paru
b.
Limfangitis karsinomatosis
c.
Limfangitis fibrotic (silikosis)
4.
Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
b.
Edema paru neurogenik
c.
Overdosis obat narkotik
d.
Emboli paru
e.
Eklampsia
f.
Pasca kardioversi
g.
Pasca anestesi
h.
Pasca bedah pintas jantung-paru
Diagnosis.
Meskipun mekanismenya berbeda, penampilan klinis edema paru kardiogenik bisa mirip dengan edema paru nonkardiogenik. Karena itu sangat penting untuk menentapkan mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut untuk menentukan tatalaksananya. Perbedakan edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik sebagai berikut:
Meskipun mekanismenya berbeda, penampilan klinis edema paru kardiogenik bisa mirip dengan edema paru nonkardiogenik. Karena itu sangat penting untuk menentapkan mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut untuk menentukan tatalaksananya. Perbedakan edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik sebagai berikut:
Pemeriksaan
|
Kardiogenik
|
Nonkardiogenik
|
Anamnesis
Acute
cardiac event
|
Sering
|
Jarang
|
Pemeriksaan fisis
- Perifer
- S3 gallop/ kardiomegali
- JVP
- Ronki
|
Dingin
Positif
Meningkat
Basah
|
Hangat, nadi kuat
Negative
Tak meningkat
Kering
|
Pem. Penunjang
- EKG
- Foto toraks
- Enzim kardiak
- Pulmonary
capillary
wedge pressure
- Shunt intrapulmonar
- Rasio protein edema
dan plasma
|
Iskemik/infark
Kardiomegali
Bisa meningkat
> 18
mmHg
Sedikit
< 0,5
|
Biasanya normal, aritmia
Infiltrat difus bilateral
Biasanya normal
< 18 mmHg
Hebat
> 0,7
|
Penatalaksanaan
Edema paru akut adalah kasus darurat medis yang memerlukan evaluasi cepat dan terapi tepat. Pada saat pemeriksaan penunjang sedang dilakukan, informasi tentang mekanisme patofisiologi penyakit yang mendasari harus segera dicari untuk menentukan terapi. Pengobatan edema paru biasanya memerlukan pengobatan suportif yang baik diikiti pengobatan spesifik terhadap kelainan atau faktor-faktor yang menyebabkan edema paru. Pengobatan suportif ada dua yaitu suplementasi oksigen dan pengurangan cairan ekstravaskular.
Edema paru akut adalah kasus darurat medis yang memerlukan evaluasi cepat dan terapi tepat. Pada saat pemeriksaan penunjang sedang dilakukan, informasi tentang mekanisme patofisiologi penyakit yang mendasari harus segera dicari untuk menentukan terapi. Pengobatan edema paru biasanya memerlukan pengobatan suportif yang baik diikiti pengobatan spesifik terhadap kelainan atau faktor-faktor yang menyebabkan edema paru. Pengobatan suportif ada dua yaitu suplementasi oksigen dan pengurangan cairan ekstravaskular.
Suplementasi oksigen
Penurunan PaO2 pada edema paru merupakan ancaman utama
terhadap susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Hipoksemia umum terjadi
pada pasien dengan edema paru, maka suplementasi oksigen merupakan terapi
suportif yang penting. Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanula
hidung atau face mask (masker muka). Continuous positive airway pressure (CPAP)
sangat membantu pada pasien tertentu, sedang intubasi, ventilasi mekanik dan
penggunaan positive end-expiratory
pressure (PEEP) mungkin diperlukan pada kasus berat.
Pengurangan cairan paru ekstravaskular
Edema paru ditandai dengan peningkatan cairan paru ekstravaskular
(CPEV). Pengobatan yang ditujukan untuk mengurangi CPEV telah lama digunakan
sebagai terapi suportif pada pasien edema paru kardiogenik. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa strategi tersebut mungkin juga bisa diterapkan pada pasien
edema paru nonkardiogenik. Penelitian prospektif secara random membuktikan bahwa keseimbangan cairan
negatif berhubungan dengan
penurunan CPEV, jumlah hari yang lebih sedikit dengan ventilator dan lama rawat
di ICU yang lebih pendek. Penelitian lain menyimpulkan bahwa keseimbangan
cairan positif merupakan prediktor independen kematian pasien. Strategi ini
sebaiknya dimonitor ketat, karena pembatasan cairan yang masuk dan dieresis
tanpa mempertahankan curah jantung dan oksigenasi bisa berbahaya.