27 Februari 2013

EDEMA PARU, kelainan akut atau kronik?


Edema paru adalah keadaan terdapatnya cairan ekstravaskuler yang berlebihan dalam paru. Berbagai macam etiologi dapat menimbulkan edema paru, namun pada dasarnya disebabkan oleh tekanan yang tinggi pada mikrosirkulasi paru dan akibat sekunder pompa jantung yang tidak baik (edema paru hemodinamik/kardiogenik), karena peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler  (edema paru permeabilitas/nonkardiogenik) atau karena kombinasi kedua penyebab tersebut.
Edema paru pada keadaan akut merupakan keadaan darurat medis yang dapat mengancam jiwa penderita, sedangkan edema paru kronik dapat menyebabkan kecacatan dan mengurangi aktivitas penderita.

Sangat penting untuk diingat bahwa edema paru adalah salah satu kondisi kegawatan yang tersering dan sangat mengancam jiwa. Penatalaksanaan yang agresif harus segera dilakukan setelah dicurigai diagnosis edema paru. Tanda dan gejala yang tampak adalah representasi perpindahan cairan dari kompartemen intravaskular ke dalam jaringan interstisial dan selanjutnya ke dalam alveoli. Kelainan kardiak dan nonkardiak dapat menyebabkan edema paru sehingga kita harus mengetahui kondisi dasar yang mencetuskan edema paru agar penatalaksanaan yang dilakukan tepat dan berhasil. Kadang masalahnya kompleks karena pada pasien selain terdapat  problem kardiak sekaligus terdapat juga problem nonkardiak.

Fisiologi
Ruang alveolus dibatasi oleh sel epitel tipe I yang menutupi 98% permukaan alveolus dan sel epitel tipe II berbentuk polygonal yang tersebar di antaranya. Kedua bentuk sel tersebut bersama-sama membentuk dinding epitel yang akan menghalangi perpindahan cairan dan protein menembus alveolus. Cairan akan keluar dari kapiler jika perbedaan tekanan hidrostatik antara kapiler dan interstisial lebih besar daripada perbedaan tekanan onkotik antara kapiler dan interstisial.

Patofisiologi
Cairan dan protein pada keadaan normal tidak dapat pindah dari ruang mikrovaskuler ke alveoli karena membran alveolar mempunyai permeabilitas yang sangat rendah dan cairan yang difiltrasi terus menerus dialihkan dari dindng alveolar menuju saluran limfe. Membrane alveolar-kapiler terdiri atas dua area fungsionil yang berbeda. Pada sisi yang tipis terdapat fusi membrane basalis epitel alveolar dan membrane basalis kapiler paru sehingga tidak tidak ada ruang interstisial, berfungsi untuk pertukaran gas. Sisi tebal di antara membrane basalis alveolar dan membrane basalis kapiler dipisahkan oleh matriks kolagen yang berisi serat elastin, polimer asam hialuronat, mukoplisakarida dan fibroblast. Sisi tebal ini berfungsi untuk pertukaran cairan dan juga sebagai jaringan penunjang kapiler. Edema interstisial merupakan penebalan sisi tebal ini.

Mekanisme yang mempertahankan agar jaringan interstisial dan alveolus tetap kering adalah:
1.       Tekanan onkotik plasma (25 mmHg) lebih tinggi daripada tekanan onkotik interstisial (7-12 mmHg)
2.       Barier jaringan ikat dan seluler relative impermeable terhadap protein plasma
3.       Sistem limfa

Volume cairan ekstravaskular dalam paru pada keadaan normal kurang dari 500 ml. Meskipun penumpukan cairan melebihi 500 ml kita sebut abnormal (menurut definisi) namun gejala dan kelainan fungsi paru biasanya belum terjadi sampai cairan ekstravaskuler melebihi 75-100% volume normal. Cadangan fifiologis tersebut diperankan oleh jaringan interstisial.
Apapun penyebabnya, akbatnya terhadap paru tetap sama yaitu edema paru yang terjadi dalam 3 tahap:
·     Tahap 1. Terjadi peningkatan perpindahan cairan koloid dari kapiler ke ruang interstisial tapi masih diikuti oleh peningkatan aliran limfatik.
·    Tahap 2. Terjadi bila kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga cairan dan kristaloid mulai terakumulasi dalam ruang interstisial sekitar bronkioli, arteriol dan venula (pada foto toraks terlihat sebagai edema paru interstisial)
·   Tahap 3. Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveolus. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas

Secara histologis kerusakan tampak berubah dengan berjalannya waktu dan dibagi menjadi 3 fase yang saling berhubungan dan tumpang tindih sebagai berikut:
·      Stage I: fase eksudatif, ditandai dengan ekstravasasi cairan kaya protein ke dalam ruang interstisial dan alveoli.
·    Stage II: fase proliferative. Sesuai dengan perkembangan penyakit, edema disertai respons seluler yang kuat dan berhubungan dengan perdarahan, nekrosis selular, hiperplasi sel pneumosit tipe II, deposisi fibrin dan oklusi vaskuler oleh trombosit.
·  Stage III: fase fibrotic. Pada pasien yang masih masih bertahan, proses perbaikan terjadi ditandai dengan fibrosis dan penebalan septa alveolar, akibatnya terjadi pembesaran tak beraturan ruang udara dan obliterasi vaskuler
Pertukaran gas
Edema paru menyebabkan hipoksemia dengan cara menganggu keseimbangan ventilasi perfusi. Perfusi yang tetap mengalir pada alveoli yang dipenuhi cairan dan atelektasis akan menyebabkan gangguan keseimbangan ventilasi perfusi pada bagian paru tersebut sehingga menimbulkan intrapulmonary shunt. Pada orang normal, shunt intrapulmonal merupakan sebagian kecil curah jantung namun pada edema paru shunt bisa mencapai 25 – 50% curah jantung. Karena aliran darah di daerah shunt tidak bertemu dengan udara alveolus maka suplementasi oksigen nilainya kecil.

Kerja pernapasan (work of breathing)
Kerja pernapasan meningkat pada edema paru dan efeknya akan berlipat ganda bila juga disertai dengan takipneu. Kerja pernapasan pada subjek normal hanya mengambil sebagian kecil konsumsi oksigen tubuh, namun pada edema paru berat (tanpa dukungan ventilasi mekanik) akan menghabiskan 25-50% konsumsi oksigen total tubuh. Untuk  memenuhi kebutuhan energy yang diperlukan pada tingkat kerja tersebut, penigkatan curah jantung harus dibagi selain kepada sistem organ vital juga pada otot pernapasan. Untuk alasan tersebut, salah satu keuntungan dukungan ventilasi mekanik selama edema paru berat untuk mengutrangi kerja pernapasan pasien sehingga aliran darah bisa dipindahkan menuju organ vital lainnya.

Klasifikasi.
Walaupun lebih mudah mengelompokkan edema paru menjadi kardiogenik dan nonkardiogenik namun pengelompokan tersebut tidak benar-benar tegas. Ada tumpang tindih pada penampilan klinis, patofisiologi dan tatalaksana kedua kelompok edema paru tersebut. Kidess (1995) membagi edema paru berdasarkan penyebabnya sebagai berikut
·      Edema paru kardiogenik (hidrostatik),
·      Edema paru nonkardiogenik (permeability),
·      Edema paru campuran atau patogenesisnya belum diketahui
o  Edema paru karena ketinggian (high-altitude pulmonary edema/HAPE)
o  Edema paru neurogenik
o  Re-expansion pulmonary edema
o  Overedosis narkotik
o  Tocolytic therapy
o  Uremia

Sedang Braundwauld (1997) membagi edema paru berdasarkan mekanisme pencetusnya sebagai berikut:
1.       Ketidakimbangan Starling-Force
a.    Peningkatan tekanan vena pulmonalis
                         i.          Tanpa gagal ventrikel kiri (missal: stenosis mitral)
                        ii.          Sekunder karena gagal ventrikel kiri
b.    Penurunan tekanan onkotik plasma, pada hipoalbuminemia
c.     Peningkatan tekanan negative interstisial, pada tatalaksana pneumotoraks dengan tekanan negative yang tinggi
2.       Gangguan permeabilitas membrane kapiler alveoli
a.         Pneumonia (bakteri, virus atau parasit)
b.         Inhalasi toksin (NO, asap)
c.          Pancreatitis hemoragik akut
d.         Aspirasi asam lambung
e.         Pneumonitis akut akibat radiasi
f.          Zat vasoaktif endogen (histamine, kinin)
g.         Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
h.         Imunologi: pneumonitis hipersensitif
i.           Shock-lung pada trauma bukan dada
j.           Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
3.       Insufisiensi sistem limfe
a.         Pasca transplantasi paru
b.         Limfangitis karsinomatosis
c.          Limfangitis fibrotic (silikosis)
4.       Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
a.         Highaltitude pulmonary oedema
b.         Edema paru neurogenik
c.          Overdosis obat narkotik
d.         Emboli paru
e.         Eklampsia
f.          Pasca kardioversi
g.         Pasca anestesi
h.         Pasca bedah pintas jantung-paru

Diagnosis.
Meskipun mekanismenya berbeda, penampilan klinis edema paru kardiogenik bisa mirip dengan edema paru nonkardiogenik. Karena itu sangat penting untuk menentapkan mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut untuk menentukan tatalaksananya. Perbedakan edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik sebagai berikut:

Pemeriksaan
Kardiogenik
Nonkardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event

Sering

Jarang
Pemeriksaan fisis
            -  Perifer
          -   S3 gallop/ kardiomegali
           -   JVP
          -   Ronki

Dingin
Positif

Meningkat
Basah

Hangat, nadi kuat
Negative

Tak meningkat
Kering
Pem. Penunjang
           -  EKG

           -  Foto toraks

            -  Enzim kardiak

            -  Pulmonary capillary 
        wedge  pressure
          -  Shunt intrapulmonar
            -   Rasio protein edema 
        dan plasma

Iskemik/infark

Kardiomegali

Bisa meningkat

>  18 mmHg
  
Sedikit

< 0,5

Biasanya normal, aritmia
Infiltrat difus bilateral
Biasanya normal

< 18 mmHg


Hebat

> 0,7

Penatalaksanaan
Edema paru akut adalah kasus darurat medis yang memerlukan evaluasi cepat dan terapi tepat. Pada saat pemeriksaan penunjang sedang dilakukan, informasi tentang mekanisme patofisiologi penyakit yang mendasari harus segera dicari untuk menentukan terapi. Pengobatan edema paru biasanya memerlukan pengobatan suportif yang baik diikiti pengobatan spesifik terhadap kelainan atau faktor-faktor yang menyebabkan edema paru. Pengobatan suportif ada dua yaitu suplementasi oksigen dan pengurangan cairan ekstravaskular.

Suplementasi oksigen
Penurunan PaO2 pada edema paru merupakan ancaman utama terhadap susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun terjadinya  syok. Hipoksemia umum terjadi pada pasien dengan edema paru, maka suplementasi oksigen merupakan terapi suportif yang penting. Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanula hidung atau face mask (masker muka). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu pada pasien tertentu, sedang intubasi, ventilasi mekanik dan penggunaan positive end-expiratory pressure (PEEP) mungkin diperlukan pada kasus berat.

Pengurangan cairan paru ekstravaskular
Edema paru ditandai dengan peningkatan cairan paru ekstravaskular (CPEV). Pengobatan yang ditujukan untuk mengurangi CPEV telah lama digunakan sebagai terapi suportif pada pasien edema paru kardiogenik. Beberapa penelitian membuktikan bahwa strategi tersebut mungkin juga bisa diterapkan pada pasien edema paru nonkardiogenik. Penelitian prospektif secara random membuktikan bahwa keseimbangan cairan negatif berhubungan dengan penurunan CPEV, jumlah hari yang lebih sedikit dengan ventilator dan lama rawat di ICU yang lebih pendek. Penelitian lain menyimpulkan bahwa keseimbangan cairan positif merupakan prediktor independen kematian pasien. Strategi ini sebaiknya dimonitor ketat, karena pembatasan cairan yang masuk dan dieresis tanpa mempertahankan curah jantung dan oksigenasi bisa berbahaya.