Penyakit paru yang disebabkan
oleh infeksi jamur semakin banyak ditemukan seiring dengan meningkatnya
keperdulian terhadap jamur paru dan teknik pemeriksaan yang semakin baik.
Pemakaian antibiotik dalam
pengobatan di satu sisi bermanfaat dalam terapi namun juga menimbulkan
pertumbuhan jamur saprofit dalam tubuh manusia. Faktor predisposisi yang lain adalah pemakaian
kortikosteroid lama,
TB paru dengan lesi kavitas, meningkatnya angka harapan
hidup, penggunaan obat imunosupresif dan
sitostatika serta meningkatnya jumlah pasien HIV/ AIDS. Walaupun kasusnya
relatif masih jarang bila
dibandingkan infeksi bakteri atau virus, infeksi jamur penting karena dapat
diobati dan keterlambatan terapi dapat berakibat fatal.
PATOGENESIS
Jamur terdapat di mana-mana dan pajanan terhadap saluran napas sulit
dihindarkan sehingga paru merupakan salah satu target infeksi oleh jamur. Kelompok
jamur oportunistik hanya menginfeksi pejamu dengan gangguan pada sistem imun
atau terdapat faktor predisposisi. Pada keadaan normal spora jamur oportunistik
sulit menginvasi mukosa saluran napas. Pada penderita dengan komorbid atau
imunokompromised, spora yang terinhalasi dan berkolonisasi akan menginvasi
jaringan paru dan berkembang sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan paru dan
menimbulkan gejala klinis. Makrofag paru berfungsi membunuh jamur pada keadaan
status imun yang baik, namun bila pertahanan makrofag gagal maka hifa yang
berisi konidiofora dapat melepaskan spora. Hifa sebagai antigen akan mengaktivasi
komplemen dalam serum, meningkatkan faktor kemotaktik, fagosit dan meningkatkan
degranulasi neutrofil serta merangsang kerja sel T untuk membunuh jamur yang
masuk. Imunitas nonspesifik dilakukan oleh natural killer cell sedang imunitas
spesifik diperankan oleh sel T sitotoksik dalam menghancurkan jamur. Sistem
pertahanan tubuh baik spesifik maupun nonspesifik tidak dapat berfungsi dengan
baik pada individu yang mempunyai status imun buruk, seperti pemakaian
kortikosteroid lama, diabetes mellitus dan usia lanjut.
Umumnya spora terinhalasi dan masuk ke saluran napas bawah kecuali
kandidiasis dan sporotirokosis. Selanjutnya jamur dapat masuk dalam peredaran
darah lalu menyebar secara limfogen ke dalam hilus dan mediastinum kemudian
secara hematogen ke organ lain sehingga terjadi kelainan pada organ tersebut.
KLASIFIKASI
Secara umum jamur yang menginfeksi paru dibagi menjadi dua kelompok
yaitu jamur pathogen (histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis,
parakoksidioidomikosis, spoorotrikosis dan kriptokokosis) dan jamur
oportunistik (aspergilosis, mukormikosis dan kandidiasis).
GEJALA KLINIK
Gambaran klinis infeksi jamur paru bisa simtomatik atau asimpomastik.
Pada yang simtomatik gejala dapat berupa batuk, batuk kronik dengan dahak
mukoid atau purulen, batuk darah, kadang disertai sesak napas, nyeri dada dan
demam akut. Gambaran foto toraks dapat
berupak infiltrat
terlokalisis atau difus, konsolidasi, bentuk nodul, massa atau berbentuk fungus ball dan kadang dapat disertai
kaviti atau adenopati hilus.
DIAGNOSIS
Diagnosis jamur paru umumnya didapatkan secara kebetulan atau terdapat
kecurigaan yang tinggi terhadap jamur. Specimen bahan pemeriksaan didapatkan
dari sputum, cairan serebrospinal, bilasan bronchus, cairan BAL, transbronchial
lung biopsy, transthoracal biopsy atau open lung biopsy.
Histoplasmosis primer sering tidak terdiagnosis. Pemeriksaan sputum
langsung tidak terdapat gambaran yang pasti, berbeda bila pemeriksaan ini
dilakukan pada blastinomikosis dan koksidiomikosis. Pemeriksaan sputum pada
aspergilosis, kandidiasis dan kriptokokosis kurang memberikan manfaat. Uji
serologi yang sering digunakan untuk pemeriksaan jamur paru adalah uji
imunodifusi dan uji fiksasi komplemen.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan infeksi jamur sistemik saat ini masih mengandalkan
amfoterisin-B sebagai obat terpilih untuk pengobatan jamur paru sejak
diperkenalkan pada tahu 1955, mempunyai efektivitas tinggi tapi efek sampingnya
serius. Obat lain yang juga diandalkan sebagai pilihan obat anti jamur sistemik
adalah flusitosin dan golongan azole seperti flukonazol, itrakonazol dan
ketokonazol. Obat tersebut menjadi pilihan karena pemberiannya secara oral dan
toksisiti relatif kurang. Flukonazol bisa juga diberikan secara intravena.
Pada infeksi jamur
sistemik yang berat dan mengancam jiwa, pemberian amfoterisin-B dianjurkan
sebagai obat utama dan dilanjutkan dengan flukonazol atau itrakonazol.
Penderita histoplasmosis bisa diberikan itrakonazol dengan dosis 200-400
mg/hari selama 2 – 6 minggu. Ketokonazol 400 mg/hari juga efektif untuk
penderita tersebut disamping harganya yang relative lebih murah. Penderita yang
tidak respons dengan terapi azol oral dapat diterapi dengan amfoterisin-B
dengan dosis 2,5 mg/kgBB selama 12-16
minggu. Blastinomikosis dan koksidiomikosis bisa diberikan ketokonazol oral
dengan dosis 400 mg/hari sebelum makan. Bila penderita koksidiomikosis disertai
meningitis ringan bisa dberikan flukonazol 400 mg/hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar