21 Februari 2013

EMBOLI PARU

Sampai saat ini emboli paru masih merupakan masalah kesehatan penting, kekerapannya menempati urutan ketiga dalam penyakit kardiovaskuler setelah penyakit jantung koroner dan stroke. Bila tidak diobati angka kematiannya mencapai 30%, namun dengan pengobatan yang tepat angka tersebut bisa ditekan sampai 2-8%.


Patogenesis
Menurut Virchow terjadinya thrombosis dalam vena dipengaruhi oleh 3 faktor (trias Virchow) yaitu stasis, jejas pada pembuluh dan hiperkoagulabilitas. Thrombosis dapat terjadi di pembuluh vena atau ventrikel kanan. Di vena, proses ini bisa terjadi di setiap titik namun biasanya berawal di katup. Sebagian besar emboli paru bersumber dari vena tungkai bawah. Sebelum terjadi embolisasi thrombus biasanya meluas ke proksimal hingga menimbulkan sumbatan di vena yang lebih besar. Bila embolisasi tidak terjadi, thrombus biasanya mengalami proses rekanalisasi, organisasi atau lisis. Emboli paru merupakan komplikasi thrombosis vena dalam yang paling ditakuti.

Factor risiko tromboemboli
Faktor risiko didapat
Faktor risiko diturunkan
   Usia > 40 tahun
   Defisiensi antitrombin III
   Riwayat tromboemboli vena
   Activated protein C resistance
   Riwayat operasi besar
   Defek pada gen protrombin
   Trauma
   Defisiensi protein C
   Fraktur panggul
   Defisiensi protein S
   Imobilisasi
   Kelainan plasminogen
   Stasis vena
   Hiperhomosisteinemia
   Varises
  
   Gagal jantung kongestif

   Infark miokard

   Obesitas

   Periode kehamilan/postpartum

   Terapi kontrasepsi oral

   Kejadian serebrovaskuler

   Keganasan

   Trombositopenia berat

   Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

   Antiphospholipid antibody syndrome


Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan fisik
Evaluasi yang teliti dan lengkap terhadap kemungkinan terjadinya emboli paru akut merupakan komponen penting dalam diagnosis. Gejala klinik baik emboli paru maupun thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT) tidak sensitif dan spesifik. DVT pada tungkai bawah sering asimptomatik. Pada 90% kasus, kecurigaan terjadinya emboli paru didasarkan pada gejala sesak napas, nyeri dada, sinkop atau kombinasi. Sebanyak 10% kasus ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan penunjang seperti foto toraks atau CT scan.

Pemeriksaan fisik seringkali tidak sensitif. Kadang ditemukan tanda sesuai dengan thrombosis vena dalam tungkai bawah seperti edema, eritema atau nyeri tekan. Tanda tersebut tidak spesifik untuk DVT namun memberikan petunjuk untuk evaluasi lebih lanjut. Komponen pulmonal bunyi jantung 2 mungkin mengeras pada emboli paru akut. Emboli paru harus dipertimbangkan pada pada pasien dengan sesak napas yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Nyeri dada pleuritik dengan atau tanpa sesak merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi. Gejala ini biasanya disebabkan oleh emboli distal yang menyebabkan iritasi pleura. Keluhan sesak biasanya timbul akibat emboli lebih ke sentral dan tidak melibatkan pleura.

Gejala lain sering menyerupai angina, kemungkinan disebabkan oleh iskemia ventrikel kanan. Gangguan hemodinamik yang timbul biasanya lebih berat berupa sinkop atau renjatan. Kondisi ini ditandai oleh hipotensi sistemik, oligouria, akral dingin dengan atau tanpa gagal jantung kanan akut.
Terdapat atau tidaknya faktor risiko timbulnya emboli paru harus selalu merupakan bagian tidak terpisahkan dari penilaian klinis terdapat atau tidaknya emboli paru. Semakin banyak faktor risiko semakin tinggi kemungkinan terjadinya emboli paru. Walaupun demikian emboli paru bisa juga terjadi tanpa ada faktor risiko.

Laboratorium
D-Dimer
D-Dimer merupakan produk degradasi fibrinogen. Kadarnya sering meningkat pada tromboemboli vena akut, selain itu juga meningkat pada operasi, perdarahan, keganasan, trauma atau sepsis. Karena itu pemeriksaan ini merupakan  pemeriksaan yang sensitif namun tidak spesifik untuk tromboemboli vena. Kadar D-Dimer ≥ 500 µg/L memiliki sensitivity 98% dan spesifisiti 39%. Beberapa penelitian membuktikan bahwa D-Dimer lebih bermanfaat untuk menyingkirkan daripada menegakkan diagnosis emboli paru.

Analisis gas darah
Hipoksemia sering ditemukan pada pasien emboli paru akut. Emboli paru tidak dapat disingkirkan berdasarkan PO2 yang normal, sebaliknya emboli paru harus dipikirkan pada pasien thrombosis vena dalam dengan hipoksemia.  

Troponin
Pemeriksaan troponin merupakan baku emas untuk diagnosis kerusakan miokard pada infark miokard akut. Manfaat pemeriksaan pada kasus emboli paru akut juga semakin banyak diteliti. Meyer menemukan bahwa peningkatan troponin T pada pasien emboli paru akut berhubungan bermakna dengan terjadinya disfungsi ventrikel kanan yang dinilai dengan ekokardiografi. Peningkatan enzim ini mungkin dapat mendeteksi ketidakstabilan hemodinamik pada emboli paru akut. Satu penelitian mendapatkan peningkatan troponin T pada 50% pasien emboli paru.

Foto toraks
Gambaran foto toraks pada emboli paru sering tidak spesifik, namun biasanya tidak normal (12-22%) kelainan yang paling sering ditemukan asdalah plate-like atelectasis, efusi pleura atau elevasi diafragma. Gambaran radiologis normal pada pasien dengan keluhan sesak dan hipoksemia tanpa bronkospasme atau pirau intrakardiak harus menimbulkan kecurigaan terhadap emboli paru.

Ventilation/perfusion scanning
Pemeriksaan noninvasive dan telah lama menjadi bagian dalam evaluasi pasien dengan kecurigaan emboli paru. Pemeriksaan ini telah digunakan secara luas dalam banyak penelitian klinis namun hasil pencitraan harus disimpulkan sesuai dengan kondisi pasien.

Arteriografi pulmonal
Pemeriksaan invasive ini dipertimbangkan bila dengan pemeriksaan noninvasive tidak dapat dilakukan.

CT scan
CT scan semakin luas digunakan dalam diagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi thrombus di arteri pulmonalis segmental ke proksimal dengan sensitivitas lebih dari 90%.

Magnetic resonance imaging (MRI)
Mulai banyak diteliti untuk mendeteksi emboli paru meskipun sensitivitasnya hanya 46%.

Penatalaksanaan
Pengobatan standard yang diberikan berupa suplementasi oksigen, penggunaan vasopresor bila diperlukan dan antikoagulan.