Pada tahun 1963 WHO mendefinisikan cor
pulmonale sebagai hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit paru yang
mempengaruhi fungsi dan atau struktur paru kecuali bila gangguan paru terjadi
akibat penyakit yang secara primer mengenai sisi kiri jantung atau pada
penyakit jantung kongenital. Berkembangnya pemahaman terhadap patofisiologi kor
pulmonale menyebabkan pergeseran paradigma sehingga alterasi struktur dan
fungsi ventrikel kanan lebih menjadi titik tolak dibandingkan terjadinya
hipertrofi.
Kor pulmonale yang dikenal saat ini mencakup variasi yang luas
mulai dari abnormalitas ringan ventrikel kanan sampai gagal jantung kanan. Kor
pulmonale dapat bersifat akut maupun kronik. Pada kor pulmonale akut dijumpai
dilatasi ventrikel kanan (misalnya
pada emboli paru masif), sedang kor pulmonale kronik umumnya ditandai dengan
hipertrofi ventrikel kanan.
ETIOLOGI
Berbagai penyakit paru kronik dapat menyebabkan kor pulmonale.
Sebagian ahli tidak memasukkan hipertensi pulmoner primer, penyakit paru
tromboembolik dan penyakit primer pembuluih darah paru ke dalam penyebab kor pulmonale. Ada tiga
kelompok utama penyakit paru yang dapat berujung pada hipertensi pulmoner dan kor pulmonale, yaitu:
· Penyakit paru dengan limitasi aliran udara: PPOK
dan penyebab lain obstruksi bronkhial
kronik seperti fibrosis kistik, asma dan bronkiektasis
· Penyakit paru dengan restriksi volume paru oleh
penyebab ekstrinsik atau dari parenkim paru, misalnya kifoskoliosis,
pneumoconiosis, fibrosis paru interstisial idiopatik, penyakit neuromuskuler
dan penyakit jaringan ikat.
· Gangguan pada rangsang napas yang tidak adekuat
sehingga terjadi hipoksia walaupun fungsi mekanis paru dan dinding dada baik,
misalnya hipoventilasi alveolar sentral, obesity-hypoventilation
syndrome, sleep apnea syndrome.
VENTRIKEL KANAN PADA KOR PULMONALE
Seiring dengan timbulnya hipertensi pulmoner maka beban kerja
ventrikel kanan akan bertambah bersamaan dengan peningkatan afterload.
Hipertrofi karena proses adaptasi meningkatkan
massa otot dan kebutuhan oksigen. Namun penebalan massa otot dan kekakuan
ventrikel kanan sendiri dapat menekan lumen arteri koroner kanan sehingga
timbul gangguan perfusi
miokard. Akibatnya ventrikel kanan dalam kondisi relative iskemia dan
perlahan-lahan mengalami disfungsi. Dilatasi ventrikel kanan juga menyebabkan
regurgitasi katup tricuspid dan memperberat beban ventrikel kanan. Bentuk
ventrikel kanan yang tadinya bulan sabit perlahan berubah menjadi struktur yang
lebih bulat dan mampu menghasilkan kontraksi lebih kuat untuk melawan resistensi
paru yang meningkat.
Kor pulmonale kronik dihubungkan dengan perjalanan penyakit yang
perlahan. Ventrikel kanan dapat beradaptasi menjadi pompa yang bersifat seperti
ventrikel kiri dan mampu mengatasi
tekanan tinggi, sehingga fungsinya mungkin dipertahankan normal selama
bertahun-tahun. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien
PPOK tahap lanjut tidak pernah mengalami
episode gagal jantung kanan. Derajat hipertensi pulmoner, kecepatan perburukan
serta perjalanannya menjadi gagal jantung kanan dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Yang pertama adalah proses perubahan pada fungsi ventilasi, peningkatan
tekanan alveolar akan mempengaruhi fungsi ventrikel kanan. Faktor berikutnya
adalah perubahan proses pertukaran gas, yaitu perbaikan atau perburukan
hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis. Perubahan pada beban volume juga berperan
penting, yaitu dinamika saat exercise, peningkatan denyut jantung, polisitemia serta retensi garam dan air. Pada suatu titik
ventrikel kanan tidak mampu lagi berfungsi dalam kondisi beban tekanan tinggi
sehingga terjadi gagal jantung kanan.
Disfungsi ventrikel kiri dapat dijumpai pada sebagian pasien kor
pulmonale namun tampaknya bukan disebabkan secara langsung oleh kelainan
ventrikel kanan. Penyebab dasarnya adalah gangguan primer ventrikel kiri seperti penyakit arteri koroner atau hipertensi sistemik yang hadir
bersamaaan dengan kor pulmonale. Kehadiran gagal jantung kiri merupakan
penyulit serius kor pulmonale karena
peningkatan tekanan atrium kiri dan retensi cairan secara keseluruhan
memperburuk fungsi paru, meningkatkan beban pernapasan, meningkatkan tekanan
arteri pulmonal, mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mencetuskan
terjadinya gagal napas. Jika gangguan pada ventrikel kiri telah ada sebelumnya
maka kehadiran hipoksia, hiperkapnia dan asidosis yang timbul karena penyakit
paru akan mencetuskan gagal jantung.
GEJALA KLINIS
Gejala kor
pulmonale tidak spesifik diantaranya edema perifer, nyeri dada, sesak napas saat aktivitas,
sianosis perifer yang dipicu oleh aktivitas dan rasa mengantuk berlebihan di
siang hari. Gejala lain yang biasa menyertai adalah batuk, mengi, hipertensi
sistemik ringan, nyeri kepala dan nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan tanda-tanda hipertensi pulmoner yaitu komponen pulmonal S2 mengeras
dan right ventricular lift di region
parasternalis kiri. Jika tekanan arteri pulmonal cukup tinggi maka bisa terjadi
regurgitasi katup pulmoner (terdengar
sebagai murmur diastolic pelan bersifat blowing
dan decrescendo) dan katup tricuspid
(terdengar sebagai murmur pansistolik keras). Kadang terdengar juga murmur
ejeksi sistolik karena turbulensi saat darah dipompa ventrikel ke dalam arteri
pulmoner yang mengalami dilatasi. Bila telah terjadi gagal jantung kanan maka
timbul distensi vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah
Hipertensi pulmoner (HP) dihubungkan dengan hipoksemia dan hiperkapnia pada pasien PPOK, dengan
kecenderungan untuk terjadi HP jika PaO2 <60 mmHg dan Pa CO2 >40 mmHg.
Peningkatan nilai hematokrit juga dapat berperan untuk terjadinya HP.
Radiologi
Gambaran radiologi pasien HP bervariasi sesuai dengan penyebabnya.
Hiperinflasi mungkin menandakan
emfisema atau penyakit paru obstruktif lainnya. Arteri pulmoner utama tampak
mengalami dilatasi disertai pembesaran arteri pulmoner desenden kanan.
Pelebaran arteri pulmoner desenden kanan > 16 mm memiliki akurasi 92% untuk
prediksi HP pada PPOK. Pelebaran arteri desenden kiri > 18 mm juga
berhubungan dengan HP, sedangkan diameter arteri pulmoner utama > 29 mm memiliki sensitiviti dan spesifisiti 87% dan 89%. Ukuran
jantung bisa normal atau membesar. Pembesaran ventrikel kanan sulit terlihat
pada foto toraks rutin, terlebih pada paru dengan emfisema. Pada foto lateral
rongga retrosternal tampak terisi oleh ventrikel kanan yang membesar.
Elektrokardiogram (EKG)
Penggunaan EKG untuk evaluasi kor pulmonale sangat spesifik namun
kurang sensitive. Beberapa gambaran EKG yang berhubungan dengan kor pulmonale adalah:
·
Deviasi aksis kompleks QRS ke kanan
·
Gelombang P tinggi di sadapan II, menandakan
pembesaran atrium dan perubahan posisi atrium
·
Aksis gelombang P +90 derajad atau
lebih menggambarkan overload atrium kanan dan hiperinflasi paru
·
Pola gelombang S1-3 walaupun tidak spesifik
namun menandakan perubahan arah vector ventrikel kanan yang lebih ke kanan dan
superior
· Pola gelombang S1Q3 lebih sering dijumpai pada
kor pulmonale akut namun kadang tampak juga pada kor pulmonale kronik
· Right bundle branch block (RBBB) berasosiasi
kuat dengan kor pulmonale namun dapat pula terjadi karena proses penuaan
invividu normal
·
Hipertrofi ventrikel kanan, ditandai oleh
gelombang R dominan di V1-2 dan rS di V5-6 (tipe A), pola Rs di V1 dengan
amplitude gelombang R yang tidak turun dari V1 ke V6 (tipe B), serta gelombang
R kecil dan gelombang S dalam yang muncul persisten di sadapan prekordial (tipe
C)
·
Kompleks QRS low-voltage umum dijumpai pada kor
pulmonale karena PPOK
·
Depresi segmen ST di sadapan II, III, aVF
menggambarkan iskemia segmen inferior ventrikel kiri.
Ekokardiografi
Anatomi ventrikel kanan yang kompleks dan posisinya yang tepat di
bawah sternum menyulitkan evaluasi dengan ekokardiografi. Masalah tersebut
diperberat oleh hiperinflasi
paru pada PPOK sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran yang baik.
Ekokardiografi dua dimensi dapat memperlihatkan dimensi ruang-ruang jantung
secara multipel sehingga berguna untuk menilai hipertrofi ventrikel kanan dan
pergerakan septum kearah ventrikel kiri. Volume ventrikel kanan dapat
diperkirakan lebih baik dengan ekokardiografi tiga dimensi namun cara ini rumit
dan alat tidak tersedia luas. Ekokardiografi M-Mode memberikan gambaran yang
terbatas dalam evaluasi ventrikel kanan namun dapat memperlihatkan pergerakan
katup pulmoner abnormal pada hipertensi pulmoner
Ventrikulografi radionuklir dan
skintigrafi miokardium
Ventrikulografi menggunakan material biologis seperti sel darah merah
atau albumin serum yang telah dilabel dengan Technesium-99m untuk mengevaluasi
gambaran bentuk dan volume ventrikel kanan serta arteri pulmoner. Kamera gamma mengukur kurva aktiviti
radioaktif berdasarkan waktu. Karena kurva ini proporsional terhadap volume
maka dapat dihitung fraksi ejeksi ventrikel kanan (right ventricle ejection
fraction/RVEF) yang menggambarkan fungsi kontraksi ventrikel kanan. Skintigrafi
juga menggunakan materi radioaktif, umumnya Thalium atau Technetium, untuk
melihat gambaran miokard pasien dan memperkirakan overload ventrikel kanan
dengan sensitivity sekitar 73%. Namun metode ini bersifat kualitatif dan jarang
dipakai untuk evaluasi fungsi ventrikel kanan.
Magnetic resonance imaging (MRI)
Sampai saat ini MRI merupakan modaliti terbaik untuk menilai dimensi ventrikel kanan. Sebagian besar
penelitian terbaru menggunakan MRI sebagai baku emas (gold standard). Teknik
ini juga tidak invasif dan
tidak memberikan beban radioaktif pada pasien. Kekurangannya adalah mahal dan
tidak tersedia secara luas. Dengan MRI dapat dihitung indeks hipertrofi
ventrikel kanan, didapat dari membagi ketebalan dinding bebas ventrikel kanan
dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri. Indeks ini berkorelasi baik
dengan rerata tekanan arteri pulmoner (r=0,89) sehingga dapat dipakai untuk
mendeteksi hipertensi pulmoner.
Kateterisasi jantung kanan
Kateterisasi jantung kanan adalah baku emas untuk evaluasi fungsi
jantung kanan dan diagnosis hipertensi pulmoner. Pemeriksaan ini berperan
penting untuk membedakan kor pulmonale dari disfungsi ventrikel kiri jika
tampilan klinis meragukan. Melalui kateterisasi dapat dihitung secara langsung
tekanan arteri pulmoner, tekanan baji arteri pulmoner dan curah jantung. Kateterisasi jantung
merupakan prosedur invasive. Kateter multichannel
dimasukkan melalui vena jugularis, femoralis atau cubital. Pada kor pulmonale
tekanan diastolic arteri
pulmoner lebih tinggi daripada tekanan baji, berbeda dengan gagal jantung kiri
dan stenosis mitral. Tekanan arteri pulmoner dapat sangat tinggi pada penyakit
vaskuler paru dan penyakit
interstisial paru namun hanya sedikit yang meningkat atau bahkan normal pada
PPOK. Sekitar 50% pasien PPOK menderita hipertensi pulmoner saat istirahat.
Pada pasien dengan nilai normal saat istirahat, hipertensi pulmoner dapat
terjadi saat aktivitas atau olahraga.
PENATALAKSANAAN
Tujuan tatalaksana kor pulmonale adalah untuk mengurangi gejala,
memperbaiki kapasiti fungsional, menghambat perjalanan penyakit, mengurangi
derajat hipertensi pulmoner dan perbaikan fungsi ventrikel kanan. Tujuan
tersebut dapat tercapai dengan memperhatikan patofisiologi penyakit yaitu
hipoksemia, asidemia dan aktivasi neurohormonal. Selain itu terapi spesifik
terhadap kelainan di paru harus dilakukan. Jika terjadi gagal jantung kanan
maka tatalaksana juga meliputi pengobatan gagal jantung secara umum.
Modifikasi gaya hidup meliputi berhenti merokok, restriksi cairan dan
natrium, pencapaian berat badan ideal, olah raga sesuai kemampuan dan latihan
pernapasan. Pasien dengan hipertensi pulmoner berat dianjurkan untuk menghindari aktivitas berlebihan, kehamilan serta
berada di daerah dengan ketinggian lebih dari 4000 kaki (sekitar 1220 meter).
Terapi oksigen
Hipoksemia merupakan pemicu terjadinya hipertensi pulmoner dan
perbaikan tekanan arteri pulmoner dengan perbaikan hipoksemia telah terbukti. Namun pada fase lanjut,
telah terjadi vascular remodeling pada
pembuluh darah paru, maka perbaikan tekanan arteri pulmoner tidak signifikan.
Uji klinis terkontrol yang mencoba memberikan terapi oksigen jangka panjang
pasien PPOK menunjukkan perbaikan kesintasan namun efek terhadap penurunan
tekanan arteri pulmoner belum dapat dipastikan.
Salah satu uji besar (British Medical Research Council) adalah dengan
memberikan oksigen minimal 15 jam per hari. Terapi ini dapat menurunkan
mortality dan tampaknya dapat menghambat kenaikan tekanan arteri pulmoner dibandingkan kelompok control.
Uji klinis lain (National Institute of Health di
Amerika Serikat) membandingkan pemberian oksigen malam hari selama 12 jam
dengan pemberian oksigen terus menerus (kontunu). Hasilnya pemberian oksigen
kontinu menghasilkan mortality lebih rendah dan tekanan arteri pulmoner yang
menurun dibandingkan kelompok oksigen malam hari. Terapi oksigen mencegah HPV (hypoxic
pulmonary vasoconstriction) sehingga memperbaiki curah jantung, mengurangi
vasokonstriksi simpatis, memperbaiki hipoksia jaringan dan memperbaiki perfusi
organ penting seperti jantung dan ginjal. Berdasarkan penelitian tersebut
tampaknya pemberian oksigen diindikasikan pada pasien kor pulmonale terutama
pada pasien PPOK dengan hipoksemia berat, dengan pemberian minimal 15 jam/hari
dan dapat ditingkatkan menjadi terapi oksigen kontinu. Namun perlu diingat
bahwa pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada pasien kor pulmonale dengan
hipoksia dapat menurunkan rangsang napas sehingga perlu pengawasan pada tahap
awal.
Terapi medikamentosa
a.
Diuretik dapat menurunkan volume darah sehingga beban kerja ventrikel
kanan berkurang. Namun bila digunakan berlebihan akan menimbulkan gangguan
hemodinamik yang signifikan. Pengurangan volume cairan tubuh berlebihan akan
menurunkan curah jantung. Penggunaan diuretik berlebihan juga dapat menimbulkan alkalosis metabolik sehingga terapi diuretik pada kor pulmonale harus dimulai dan
dipantau dengan hati-hati.
b.
Vasodilator digunakan untuk menurunkan
tekanan arteri pulmoner, diantaranya adalah penghambat kanal kalsium, nitrat,
hidralazine, ACE inhibitor sampai pada golongan obat yang lebih baru seperti
bosentan atau sildenafil. Obat tersebut lebih efektif pada hipertensi pulmoner
primer dibandingkan sekunder. Tekanan arteri pulmoner yang hanya sedikit meningkat
pada kor pulmonale akibat PPOK tidak banyak mendapat manfaat dari terapi ini
sehingga penggunaan terapi vasodilator pada kelompok pasien ini masih
diperdebatkan.
c. Digitalis untuk terapi kor pulmonale
masih diperdebatkan. Efek digitalis tampaknya lebih baik pada pasien gagal
jantung kiri. Walaupun ada penelitian yang mendapatkan perbaikan fungsi
ventrikel kanan dengan pemberian digitalis namun
sejauh ini digitalis terutama dipakai jika terdapat gangguan ventrikel kiri
atau aritmia yang bersamaan dengan kor pulmonale. Digitalis tidak digunakan
pada fase akut insufisiensi pernapasan saat pasien dalam kondisi hipoksemia
atau asidosis karena akan meningkatkan risiko terjadinya aritmia.
d. Teofilin telah dilaporkan dapat
menurunkan resistensi vaskuler paru dan memperbaiki fungsi pompa ventrikel
kanan dan kiri, sehingga penggunaan teofilin berguna untuk menurunkan afterload
dan meningkatkan kontraktiliti. Karena itu teofilin diindikasikan pada pasien
kor pulmonale kronik dengan PPOK.
e. Anti koagulan. Pemberian warfarin
diindikasikan untuk pasien dengan risiko tinggi terjadinya tromboemboli,
terutama pada pasien dengan hipertensi pulmoner primer dan yang disebabkan oleh
tromboemboli kronik. Untuk hipertensi pulmoner sekunder lain dan kor pulmonale
pada PPOK sejauh ini belum memberikan
efek yang bermakna.
f.
Almitrine merupakan golongan obat
stimulant rangsang napas dengan efek perbaikan pertukaran gas yang juga
memiliki efek perbaikan cardiac index
dan fungsi sistolik ventrikel. Mekanisme kerjanya adalah alterasi pola napas
dan perbaikan respons kemoreseptor perifer terhadap hipoksia. Namun almitrine
dapat meningkatkan respons vasokonstriksi
pulmonar sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada
pasien kor pulmonale dengan hipoksia kronik.
g. Amrinone, suatu obat inotropik, dapat
menurunkan rerata tekanan arteri pulmoner dan juga mampu menurunkan tekanan
baji kapiler pulmoner tanpa perubahan bermakna pada curah jantung, tekanan
arteri sistemik serta nilai gas darah pada pasien PPOK dengan kor pulmonale.
Flebotomi
Flebotomi dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner pada pasien kor
pulmonale dengan kadar hematokrit yang tinggi. Hematokrit yang diturunkan
sampai senilai 50% akan memperbaiki hemodinamik pasien baik saat istirahat
maupun aktiviti serta memperbaiki proses pertukaran gas di paru (penurunan
resistensi vaskuler paru dan peningkatan pO2) pada pasien PPOK stabil dan
hipertensi pulmoner. Flebotomi dipertimbangkan bila kadar hematokrit di atas
55-60% dengan pengeluaran volume darah yang kecil (200-300 ml) dan dilakukan dengan pengawasan.
Terapi bedah
Ada beberapa pilihan terapi bedah untuk perbaikan penyakit dasar yang
menyebabkan timbulnya kor pulmonale. Uvulopalatopharyngeoplasty merupakan salah satu pilihan terapi pada
pasien dengan sleep apnea. Transplantasi paru tunggal, paru ganda serta
transplantasi jantung paru dapat
merupakan pilihan pada pasien
kor pulmonale dan penyakit paru berat. Penyakit paru yang paling sering
membutuhkan terapi dengan transplantasi adalah hipertensi pulmoner primer,
emfisema, fibrosis paru idiopatik dan fibrosis kistik. Angka daya tahan hidup
(survival) 2 tahun untuk transplantasi paru tunggal dan ganda sekitar 60% sedang untuk
transplantasi jantung sekitar 80%. Fungsi ventrikel kanan dapat mengalami
perbaikan setelah transplantasi paru walaupun sebelumnya telah mendapat beban
tekanan tinggi pada kasus hipertensi pulmoner berat.