5 Maret 2013

KOR PULMONALE, mana duluan yang sakit?


Pada tahun 1963 WHO mendefinisikan cor pulmonale sebagai hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit paru yang mempengaruhi fungsi dan atau struktur paru kecuali bila gangguan paru terjadi akibat penyakit yang secara primer mengenai sisi kiri jantung atau pada penyakit jantung kongenital. Berkembangnya pemahaman terhadap patofisiologi kor pulmonale menyebabkan pergeseran paradigma sehingga alterasi struktur dan fungsi ventrikel kanan lebih menjadi titik tolak dibandingkan terjadinya hipertrofi.
Kor pulmonale yang dikenal saat ini mencakup variasi yang luas mulai dari abnormalitas ringan ventrikel kanan sampai gagal jantung kanan. Kor pulmonale dapat bersifat akut maupun kronik. Pada kor pulmonale akut dijumpai dilatasi ventrikel kanan (misalnya pada emboli paru masif), sedang kor pulmonale kronik umumnya ditandai dengan hipertrofi ventrikel kanan.

ETIOLOGI
Berbagai penyakit paru kronik dapat menyebabkan kor pulmonale. Sebagian ahli tidak memasukkan hipertensi pulmoner primer, penyakit paru tromboembolik dan penyakit primer pembuluih darah paru  ke dalam penyebab kor pulmonale. Ada tiga kelompok utama penyakit paru yang dapat berujung pada hipertensi pulmoner dan kor pulmonale, yaitu:
·    Penyakit paru dengan limitasi aliran udara: PPOK dan penyebab lain obstruksi bronkhial kronik seperti fibrosis kistik, asma dan bronkiektasis
·    Penyakit paru dengan restriksi volume paru oleh penyebab ekstrinsik atau dari parenkim paru, misalnya kifoskoliosis, pneumoconiosis, fibrosis paru interstisial idiopatik, penyakit neuromuskuler dan penyakit jaringan ikat.
·   Gangguan pada rangsang napas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia walaupun fungsi mekanis paru dan dinding dada baik, misalnya hipoventilasi alveolar sentral, obesity-hypoventilation syndrome, sleep apnea syndrome.

VENTRIKEL KANAN PADA KOR PULMONALE
Seiring dengan timbulnya hipertensi pulmoner maka beban kerja ventrikel kanan akan bertambah bersamaan dengan peningkatan afterload. Hipertrofi karena proses adaptasi  meningkatkan massa otot dan kebutuhan oksigen. Namun penebalan massa otot dan kekakuan ventrikel kanan sendiri dapat menekan lumen arteri koroner kanan sehingga timbul gangguan perfusi miokard. Akibatnya ventrikel kanan dalam kondisi relative iskemia dan perlahan-lahan mengalami disfungsi. Dilatasi ventrikel kanan juga menyebabkan regurgitasi katup tricuspid dan memperberat beban ventrikel kanan. Bentuk ventrikel kanan yang tadinya bulan sabit perlahan berubah menjadi struktur yang lebih bulat dan mampu menghasilkan kontraksi lebih kuat untuk melawan resistensi paru yang meningkat.

Kor pulmonale kronik dihubungkan dengan perjalanan penyakit yang perlahan. Ventrikel kanan dapat beradaptasi menjadi pompa yang bersifat seperti ventrikel kiri dan mampu mengatasi tekanan tinggi, sehingga fungsinya mungkin dipertahankan normal selama bertahun-tahun. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien PPOK  tahap lanjut tidak pernah mengalami episode gagal jantung kanan. Derajat hipertensi pulmoner, kecepatan perburukan serta perjalanannya menjadi gagal jantung kanan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Yang pertama adalah proses perubahan pada fungsi ventilasi, peningkatan tekanan alveolar akan mempengaruhi fungsi ventrikel kanan. Faktor berikutnya adalah perubahan proses pertukaran gas, yaitu perbaikan atau perburukan hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis. Perubahan pada beban volume juga berperan penting, yaitu dinamika saat exercise, peningkatan denyut jantung, polisitemia serta retensi garam dan air. Pada suatu titik ventrikel kanan tidak mampu lagi berfungsi dalam kondisi beban tekanan tinggi sehingga terjadi gagal jantung kanan.

Disfungsi ventrikel kiri dapat dijumpai pada sebagian pasien kor pulmonale namun tampaknya bukan disebabkan secara langsung oleh kelainan ventrikel kanan. Penyebab dasarnya adalah gangguan primer ventrikel kiri seperti penyakit arteri koroner atau hipertensi sistemik yang hadir bersamaaan dengan kor pulmonale. Kehadiran gagal jantung kiri merupakan penyulit serius kor pulmonale karena peningkatan tekanan atrium kiri dan retensi cairan secara keseluruhan memperburuk fungsi paru, meningkatkan beban pernapasan, meningkatkan tekanan arteri pulmonal, mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mencetuskan terjadinya gagal napas. Jika gangguan pada ventrikel kiri telah ada sebelumnya maka kehadiran hipoksia, hiperkapnia dan asidosis yang timbul karena penyakit paru akan mencetuskan gagal jantung.

GEJALA KLINIS
Gejala kor pulmonale tidak spesifik diantaranya edema perifer, nyeri dada, sesak napas saat aktivitas, sianosis perifer yang dipicu oleh aktivitas dan rasa mengantuk berlebihan di siang hari. Gejala lain yang biasa menyertai adalah batuk, mengi, hipertensi sistemik ringan, nyeri kepala dan nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda-tanda hipertensi pulmoner yaitu komponen pulmonal S2 mengeras dan right ventricular lift di region parasternalis kiri. Jika tekanan arteri pulmonal cukup tinggi maka bisa terjadi regurgitasi katup pulmoner  (terdengar sebagai murmur diastolic pelan bersifat blowing dan decrescendo) dan katup tricuspid (terdengar sebagai murmur pansistolik keras). Kadang terdengar juga murmur ejeksi sistolik karena turbulensi saat darah dipompa ventrikel ke dalam arteri pulmoner yang mengalami dilatasi. Bila telah terjadi gagal jantung kanan maka timbul distensi vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer.  

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah
Hipertensi pulmoner (HP) dihubungkan dengan hipoksemia dan hiperkapnia pada pasien PPOK, dengan kecenderungan untuk terjadi HP jika PaO2 <60 mmHg dan Pa CO2 >40 mmHg. Peningkatan nilai hematokrit juga dapat berperan untuk terjadinya HP.

Radiologi
Gambaran radiologi pasien HP bervariasi sesuai dengan penyebabnya. Hiperinflasi mungkin menandakan emfisema atau penyakit paru obstruktif lainnya. Arteri pulmoner utama tampak mengalami dilatasi disertai pembesaran arteri pulmoner desenden kanan. Pelebaran arteri pulmoner desenden kanan > 16 mm memiliki akurasi 92% untuk prediksi HP pada PPOK. Pelebaran arteri desenden kiri > 18 mm juga berhubungan dengan HP, sedangkan diameter arteri pulmoner utama > 29 mm memiliki sensitiviti dan spesifisiti 87% dan 89%. Ukuran jantung bisa normal atau membesar. Pembesaran ventrikel kanan sulit terlihat pada foto toraks rutin, terlebih pada paru dengan emfisema. Pada foto lateral rongga retrosternal tampak terisi oleh ventrikel kanan yang membesar.

Elektrokardiogram (EKG)
Penggunaan EKG untuk evaluasi kor pulmonale sangat spesifik namun kurang sensitive. Beberapa gambaran EKG yang berhubungan dengan kor pulmonale adalah:
·      Deviasi aksis kompleks QRS ke kanan
·      Gelombang P tinggi di sadapan II, menandakan pembesaran atrium dan perubahan posisi atrium
·      Aksis gelombang P +90 derajad atau lebih menggambarkan overload atrium kanan dan hiperinflasi paru
·      Pola gelombang S1-3 walaupun tidak spesifik namun menandakan perubahan arah vector ventrikel kanan yang lebih ke kanan dan superior
·     Pola gelombang S1Q3 lebih sering dijumpai pada kor pulmonale akut namun kadang tampak juga pada kor pulmonale kronik
·   Right bundle branch block (RBBB) berasosiasi kuat dengan kor pulmonale namun dapat pula terjadi karena proses penuaan invividu normal
·      Hipertrofi ventrikel kanan, ditandai oleh gelombang R dominan di V1-2 dan rS di V5-6 (tipe A), pola Rs di V1 dengan amplitude gelombang R yang tidak turun dari V1 ke V6 (tipe B), serta gelombang R kecil dan gelombang S dalam yang muncul persisten di sadapan prekordial (tipe C)
·      Kompleks QRS low-voltage umum dijumpai pada kor pulmonale karena PPOK
·      Depresi segmen ST di sadapan II, III, aVF menggambarkan iskemia segmen inferior ventrikel kiri.

Ekokardiografi
Anatomi ventrikel kanan yang kompleks dan posisinya yang tepat di bawah sternum menyulitkan evaluasi dengan ekokardiografi. Masalah tersebut diperberat oleh hiperinflasi paru pada PPOK sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran yang baik. Ekokardiografi dua dimensi dapat memperlihatkan dimensi ruang-ruang jantung secara multipel sehingga berguna untuk menilai hipertrofi ventrikel kanan dan pergerakan septum kearah ventrikel kiri. Volume ventrikel kanan dapat diperkirakan lebih baik dengan ekokardiografi tiga dimensi namun cara ini rumit dan alat tidak tersedia luas. Ekokardiografi M-Mode memberikan gambaran yang terbatas dalam evaluasi ventrikel kanan namun dapat memperlihatkan pergerakan katup pulmoner abnormal pada hipertensi pulmoner

Ventrikulografi radionuklir dan skintigrafi miokardium
Ventrikulografi menggunakan material biologis seperti sel darah merah atau albumin serum yang telah dilabel dengan Technesium-99m untuk mengevaluasi gambaran bentuk dan volume ventrikel kanan serta arteri pulmoner. Kamera gamma mengukur kurva aktiviti radioaktif berdasarkan waktu. Karena kurva ini proporsional terhadap volume maka dapat dihitung fraksi ejeksi ventrikel kanan (right ventricle ejection fraction/RVEF) yang menggambarkan fungsi kontraksi ventrikel kanan. Skintigrafi juga menggunakan materi radioaktif, umumnya Thalium atau Technetium, untuk melihat gambaran miokard pasien dan memperkirakan overload ventrikel kanan dengan sensitivity sekitar 73%. Namun metode ini bersifat kualitatif dan jarang dipakai untuk evaluasi fungsi ventrikel kanan.

Magnetic resonance imaging (MRI)
Sampai saat ini MRI merupakan modaliti terbaik untuk menilai dimensi ventrikel kanan. Sebagian besar penelitian terbaru menggunakan MRI sebagai baku emas (gold standard). Teknik ini juga tidak invasif dan tidak memberikan beban radioaktif pada pasien. Kekurangannya adalah mahal dan tidak tersedia secara luas. Dengan MRI dapat dihitung indeks hipertrofi ventrikel kanan, didapat dari membagi ketebalan dinding bebas ventrikel kanan dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri. Indeks ini berkorelasi baik dengan rerata tekanan arteri pulmoner (r=0,89) sehingga dapat dipakai untuk mendeteksi hipertensi pulmoner.

Kateterisasi jantung kanan
Kateterisasi jantung kanan adalah baku emas untuk evaluasi fungsi jantung kanan dan diagnosis hipertensi pulmoner. Pemeriksaan ini berperan penting untuk membedakan kor pulmonale dari disfungsi ventrikel kiri jika tampilan klinis meragukan. Melalui kateterisasi dapat dihitung secara langsung tekanan arteri pulmoner, tekanan baji arteri pulmoner  dan curah jantung. Kateterisasi jantung merupakan prosedur invasive. Kateter multichannel dimasukkan melalui vena jugularis, femoralis atau cubital. Pada kor pulmonale tekanan diastolic arteri pulmoner lebih tinggi daripada tekanan baji, berbeda dengan gagal jantung kiri dan stenosis mitral. Tekanan arteri pulmoner dapat sangat tinggi pada penyakit vaskuler paru dan penyakit interstisial paru namun hanya sedikit yang meningkat atau bahkan normal pada PPOK. Sekitar 50% pasien PPOK menderita hipertensi pulmoner saat istirahat. Pada pasien dengan nilai normal saat istirahat, hipertensi pulmoner dapat terjadi saat aktivitas atau olahraga.

PENATALAKSANAAN
Tujuan tatalaksana kor pulmonale adalah untuk mengurangi gejala, memperbaiki kapasiti fungsional, menghambat perjalanan penyakit, mengurangi derajat hipertensi pulmoner dan perbaikan fungsi ventrikel kanan. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan memperhatikan patofisiologi penyakit yaitu hipoksemia, asidemia dan aktivasi neurohormonal. Selain itu terapi spesifik terhadap kelainan di paru harus dilakukan. Jika terjadi gagal jantung kanan maka tatalaksana juga meliputi pengobatan gagal jantung secara umum.

Modifikasi gaya hidup meliputi berhenti merokok, restriksi cairan dan natrium, pencapaian berat badan ideal, olah raga sesuai kemampuan dan latihan pernapasan. Pasien dengan hipertensi pulmoner berat dianjurkan untuk menghindari aktivitas berlebihan, kehamilan serta berada di daerah dengan ketinggian lebih dari 4000 kaki (sekitar 1220 meter).

Terapi oksigen
Hipoksemia merupakan pemicu terjadinya hipertensi pulmoner dan perbaikan tekanan arteri pulmoner dengan perbaikan hipoksemia telah terbukti. Namun pada fase lanjut, telah terjadi vascular remodeling pada pembuluh darah paru, maka perbaikan tekanan arteri pulmoner tidak signifikan. Uji klinis terkontrol yang mencoba memberikan terapi oksigen jangka panjang pasien PPOK menunjukkan perbaikan kesintasan namun efek terhadap penurunan tekanan arteri pulmoner belum dapat dipastikan.  Salah satu uji besar (British Medical Research Council) adalah dengan memberikan oksigen minimal 15 jam per hari. Terapi ini dapat menurunkan mortality dan tampaknya dapat menghambat kenaikan tekanan arteri pulmoner  dibandingkan kelompok control. 

Uji  klinis lain (National Institute of Health di Amerika Serikat) membandingkan pemberian oksigen malam hari selama 12 jam dengan pemberian oksigen terus menerus (kontunu). Hasilnya pemberian oksigen kontinu menghasilkan mortality lebih rendah dan tekanan arteri pulmoner yang menurun dibandingkan kelompok oksigen malam hari.  Terapi oksigen mencegah HPV (hypoxic pulmonary vasoconstriction) sehingga memperbaiki curah jantung, mengurangi vasokonstriksi simpatis, memperbaiki hipoksia jaringan dan memperbaiki perfusi organ penting seperti jantung dan ginjal. Berdasarkan penelitian tersebut tampaknya pemberian oksigen diindikasikan pada pasien kor pulmonale terutama pada pasien PPOK dengan hipoksemia berat, dengan pemberian minimal 15 jam/hari dan dapat ditingkatkan menjadi terapi oksigen kontinu. Namun perlu diingat bahwa pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada pasien kor pulmonale dengan hipoksia dapat menurunkan rangsang napas sehingga perlu pengawasan pada tahap awal.

Terapi medikamentosa
a.    Diuretik dapat menurunkan volume darah sehingga beban kerja ventrikel kanan berkurang. Namun bila digunakan berlebihan akan menimbulkan gangguan hemodinamik yang signifikan. Pengurangan volume cairan tubuh berlebihan akan menurunkan curah jantung. Penggunaan diuretik berlebihan juga dapat menimbulkan alkalosis metabolik sehingga terapi diuretik pada kor pulmonale harus dimulai dan dipantau dengan hati-hati.
b.    Vasodilator digunakan untuk menurunkan tekanan arteri pulmoner, diantaranya adalah penghambat kanal kalsium, nitrat, hidralazine, ACE inhibitor sampai pada golongan obat yang lebih baru seperti bosentan atau sildenafil. Obat tersebut lebih efektif pada hipertensi pulmoner primer dibandingkan sekunder. Tekanan arteri pulmoner yang hanya sedikit meningkat pada kor pulmonale akibat PPOK tidak banyak mendapat manfaat dari terapi ini sehingga penggunaan terapi vasodilator pada kelompok pasien ini masih diperdebatkan.
c.    Digitalis untuk terapi kor pulmonale masih diperdebatkan. Efek digitalis tampaknya lebih baik pada pasien gagal jantung kiri. Walaupun ada penelitian yang mendapatkan perbaikan fungsi ventrikel kanan dengan pemberian digitalis namun sejauh ini digitalis terutama dipakai jika terdapat gangguan ventrikel kiri atau aritmia yang bersamaan dengan kor pulmonale. Digitalis tidak digunakan pada fase akut insufisiensi pernapasan saat pasien dalam kondisi hipoksemia atau asidosis karena akan meningkatkan risiko terjadinya aritmia.
d. Teofilin telah dilaporkan dapat menurunkan resistensi vaskuler paru dan memperbaiki fungsi pompa ventrikel kanan dan kiri, sehingga penggunaan teofilin berguna untuk menurunkan afterload dan meningkatkan kontraktiliti. Karena itu teofilin diindikasikan pada pasien kor pulmonale kronik dengan PPOK.
e. Anti koagulan. Pemberian warfarin diindikasikan untuk pasien dengan risiko tinggi terjadinya tromboemboli, terutama pada pasien dengan hipertensi pulmoner primer dan yang disebabkan oleh tromboemboli kronik. Untuk hipertensi pulmoner sekunder lain dan kor pulmonale pada PPOK  sejauh ini belum memberikan efek yang bermakna.
f.     Almitrine merupakan golongan obat stimulant rangsang napas dengan efek perbaikan pertukaran gas yang juga memiliki efek perbaikan cardiac index dan fungsi sistolik ventrikel. Mekanisme kerjanya adalah alterasi pola napas dan perbaikan respons kemoreseptor perifer terhadap hipoksia. Namun almitrine dapat meningkatkan respons vasokonstriksi pulmonar sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada pasien kor pulmonale dengan hipoksia kronik.
g. Amrinone, suatu obat inotropik, dapat menurunkan rerata tekanan arteri pulmoner dan juga mampu menurunkan tekanan baji kapiler pulmoner tanpa perubahan bermakna pada curah jantung, tekanan arteri sistemik serta nilai gas darah pada pasien PPOK dengan kor pulmonale.

Flebotomi
Flebotomi dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner pada pasien kor pulmonale dengan kadar hematokrit yang tinggi. Hematokrit yang diturunkan sampai senilai 50% akan memperbaiki hemodinamik pasien baik saat istirahat maupun aktiviti serta memperbaiki proses pertukaran gas di paru (penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan pO2) pada pasien PPOK stabil dan hipertensi pulmoner. Flebotomi dipertimbangkan bila kadar hematokrit di atas 55-60% dengan pengeluaran volume darah yang kecil  (200-300 ml) dan dilakukan dengan pengawasan.

Terapi bedah
Ada beberapa pilihan terapi bedah untuk perbaikan penyakit dasar yang menyebabkan timbulnya kor pulmonale. Uvulopalatopharyngeoplasty  merupakan salah satu pilihan terapi pada pasien dengan sleep apnea. Transplantasi paru tunggal, paru ganda serta transplantasi jantung paru dapat merupakan pilihan pada pasien kor pulmonale dan penyakit paru berat. Penyakit paru yang paling sering membutuhkan terapi dengan transplantasi adalah hipertensi pulmoner primer, emfisema, fibrosis paru idiopatik dan fibrosis kistik. Angka daya tahan hidup (survival) 2 tahun untuk transplantasi paru tunggal dan ganda sekitar 60% sedang untuk transplantasi jantung sekitar 80%. Fungsi ventrikel kanan dapat mengalami perbaikan setelah transplantasi paru walaupun sebelumnya telah mendapat beban tekanan tinggi pada kasus hipertensi pulmoner berat.