Tulisan ini merupakan lanjutan tulisan ISTC bagian pertama
STANDAR DIAGNOSIS
Standard 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau
lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Standard 2
Semua pasien dewasa, remaja
dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis paru harus
menjalani pemeriksaan dahak mikroskopis minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika mungkin
paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
Standard 3
Semua pasien (dewasa,
remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru,
spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan
mikroskopik, biakan dan histopatologi.
Standard 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya menjalani
pemeriksaan dahak secara
mikrobiologi.
Standard 5
Diagnosis tuberkulosis
paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut: minimal
2 kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis; dan tidak ada respons
terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M.
tuberculosis compleks sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat penderita
tuberkulosis). Untuk pasien ini, biakan dahak harus
dilakukan. Pada pasien yang sakit berat atau diketahui
atau diduga terinfeksi HIV,
evaluasi diagnostik harus disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukung ke arah
tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis harus dimulai.
Standard 6
Pada semua anak yang diduga
menderita tuberkulosis intratoraks (yakni paru, pleura dan kelenjar
getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis harus dilakukan dengan pemeriksaan
dahak (derngan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak) untuk pemeriksaan
mikroskopis dan biakan. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis
tuberkulosis harus berdasarkan pada kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis, riwayat terpajan kasus
tuberkulosis yang menular, bukti infeksi tuberkulosis (uji tuberkulin atau
inteferon gamma release assay positif) dan temuan klinis yang mendukung ke arah
tuberkulosis. Untuk anak yang diduga menderita tuberkulosis ekstraparu,
spesimen dari lokasi yang dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan
mikroskopik, biakan dan histopatologis.
STANDAR TERAPI
Standard 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi
lebih lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tetapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat lokal
dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai kepatuhan pasien serta dapat
menangani ketidakpatuhan bila terjadi.
Standard 8
Semua pasien (termasuk mereka
yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat
yang bioavaibilitasnya sudah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri
dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid)
dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan.
Standard 9
Untuk membina
dan menilai kepatuhan (adherence) terhadap pengobatan, suatu pendekatan
pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan
rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya
dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya berbasis
individu dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan
dan layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien.
Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan
cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan menangani
ketidahpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan
pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan penyelanggara
pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat
(directly observed therapy-DOT) serta identifikasi dan pelatihan bagi pengawas
menelan obat (untuk tuberkulosis, dan jika memungkinkan, untuk HIV) yang dapat
diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan. Insentif dan dukungan,
termasuk dukungan keuangan dapat diberikan untuk mendukung kepatuhan.
Standard 10
Respons terhadap terapi
pada pasien tuberkulosis paru harus
dimonitor dengan pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) saat fase
inisial selesai (dua bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial,
apus dahak harus diperiksa kembali pada bulan ketiga dan jika positif, biakan
dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan. Pada
pasien tuberkulosis ekstraparu dan pada anak, penilaian respons pengobatan
terbaik adalah secara klinis.
Standard 11
Penilaian kemungkinan
resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan
sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam
masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Uji sensitiviti obat
seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya
pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga
bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat atau kasus kambuh setelah
pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan
kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti/resistensi obat
setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilakukan segera untuk
meminimalkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengendalian infeksi yang memadai
seharusnya dilakukan sesuai tempat pelayanan.
Standard 12
Pasien
yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan
kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat
khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paduan obat yang
dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan
atau yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih
efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah
konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk
memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan
penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan
MDR/XDR TB harus dilakukan.
Standard 13
Rekaman
tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan efek
samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
STANDAR
UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV DAN KONDISI KOMORBID LAIN
Standard 14
Uji HIV
dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasienyang menderita atau yang
diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari
manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang
tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang
berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat
terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dengan infeksi HIV pada daerah
dengan prevalensi HIV yang tinggi, pendekatan yang terintegrasi
direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.
Standard 15
Semua pasien tuberkulosis dan
infeksi HIV seharusnya
dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya
pengobatan antiretroviral diberikan
selama masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi
indikasi. Bagaimanapun juga
pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis
dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi
lainnya.
Standard 16
Pasien dengan infeksi HIV
yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif
seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid selama
6-9 bulan.
Standar 17
Semua penyelenggara
kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi
komorbidyang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan,
penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang
dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan
layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup
penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan
perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan,
seperti diabetes melitus, program berhenti merokok, dan layanan pendukung
psikososial lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan
atau setelah melahirkan.
STANDAR UNTUK
KESEHATAN MASYARAKAT
Standar 18
Semua penyelenggara
pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang
yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya
dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan
prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecednderungan bahwa kontak:
- Menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis
- Berisiko tinggi menderita tuberkulosis jika
terinfeksi
- Berisiko menderita tuberkulosis berat bila
penyakit berkembang, dan
- Berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien.
Prioritas tertinggi evaluasi
kontak adalah:
- Orang dengan gejala yang mendukung ke arah
tuberkulosis
- Anak berusia < 5 tahun
- Kontak yang menderita atau diduga menderita
imunokompromais, khususnya infeksi HIV
- Kontak dengan pasien MDR/XDR TB
Kontak erat lainnya
merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah
Standard 19
Anak berusia < 5 tahun
dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat dengan
pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita
tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan
isoniazid.
Standard 20
Setiap fasiliti pelayanan
kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau diduga menderita
tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengendalian infeksi
tuberkulosis yang memadai
Standard 21
Semua penyelenggara kesehatan harus melaporkan kasus
tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke
Kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan
yang berlaku.