15 Januari 2013

ISTC (bagian 2), rincian masing-masing standar

Tulisan ini merupakan lanjutan tulisan ISTC bagian pertama
STANDAR DIAGNOSIS
Standard 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

Standard 2
Semua pasien dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopis minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.


Standard 3
Semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik, biakan dan histopatologi.

Standard 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

Standard 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut: minimal 2 kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis; dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M. tuberculosis compleks sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini, biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien yang sakit berat atau diketahui atau diduga terinfeksi HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukung ke arah tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis harus dimulai.

Standard 6
Pada semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (yakni paru, pleura dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis harus dilakukan dengan pemeriksaan dahak (derngan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak) untuk pemeriksaan mikroskopis dan biakan. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis tuberkulosis harus berdasarkan pada kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis, riwayat terpajan kasus tuberkulosis yang menular, bukti infeksi tuberkulosis (uji tuberkulin atau inteferon gamma release assay positif) dan temuan klinis yang mendukung ke arah tuberkulosis. Untuk anak yang diduga menderita tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari lokasi yang dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik, biakan dan histopatologis.

STANDAR TERAPI
Standard 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tetapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai kepatuhan pasien serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi.

Standard 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavaibilitasnya sudah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid) dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan.

Standard 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) terhadap pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya berbasis individu dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan dan layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan menangani ketidahpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan penyelanggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) serta identifikasi dan pelatihan bagi pengawas menelan obat (untuk tuberkulosis, dan jika memungkinkan, untuk HIV) yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan. Insentif dan dukungan, termasuk dukungan keuangan dapat diberikan untuk mendukung kepatuhan.

Standard 10
Respons terhadap terapi pada pasien tuberkulosis paru harus dimonitor dengan pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) saat fase inisial selesai (dua bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus dahak harus diperiksa kembali pada bulan ketiga dan jika positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan. Pada pasien tuberkulosis ekstraparu dan pada anak, penilaian respons pengobatan terbaik adalah secara klinis.

Standard 11
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Uji sensitiviti obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilakukan segera untuk meminimalkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengendalian infeksi yang memadai seharusnya dilakukan sesuai tempat pelayanan.

Standard 12
Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan.

Standard 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

STANDAR UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Standard 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasienyang menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dengan infeksi HIV pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.

Standard 15
Semua pasien tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standard 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.

Standar 17
Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbidyang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes melitus, program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan.

STANDAR UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT
Standar 18
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecednderungan bahwa kontak:
- Menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis
- Berisiko tinggi menderita tuberkulosis jika terinfeksi
- Berisiko menderita tuberkulosis berat bila penyakit berkembang, dan
- Berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien.
Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah:
- Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis
- Anak berusia < 5 tahun
- Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya infeksi HIV
- Kontak dengan pasien MDR/XDR TB
Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah

Standard 19
Anak berusia < 5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid.

Standard 20
Setiap fasiliti pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai

Standard 21
Semua penyelenggara kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke Kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.