Tumor
mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang
berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh
darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan
ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Rongga mediastinum ini sempit dan
tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat menekan organ di dekatnya
dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa. Kebanyakan tumor
mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup
besar, disertai keluhan dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ
sekitarnya.
Jenis tumor di rongga mediastinum dapat berupa tumor jinak atau tumor ganas
dengan penatalaksanaan dan prognosis yang berbeda, karenanya ketrampilan dalam
prosedur diagnostik memegang peranan sangat penting. Keterampilan yang memadai
dan kerjasama antar disiplin ilmu yang baik (spesialis paru dan pernapasan,
radiologi diagnosik, patologi anatomi, bedah toraks, radioterapi dan onkologi
medik) dituntut agar diagnosis dapat cepat dan akurat.
Limfoma, timoma dan teratoma adalah jenis yang paling sering ditemukan,
sebaliknya ada pula jenis
tumor yang jarang ditemukan. Hal itu menyebabkan penatalaksanaan untuk
kasus jarang sering masih diperdebatkan, baik di Indonesia maupun di negara
lain. Pada tahun 1970 - 1990 di RS Persahabatan dilakukan operasi terhadap 137
kasus, jenis tumor yang ditemukan adalah 32,2% teratoma, 24% timoma, 8% tumor
syaraf dan 4,3% limfoma.
DIAGNOSIS
Untuk melakukan prosedur diagnostik tumor mediastinum perlu dilihat apakah
pasien datang dengan
kegawatan (napas, kardiovaskular atau saluran cerna). Pasien yang datang
dengan kegawatan napas sering membutuhkan tindakan emergensi atau semiemergensi
untuk mengatasi kegawatannya. Akibatnya prosedur diagnostik harus ditunda
dahulu sampai masalah kegawatan teratasi. Hal penting yang harus diingat adalah
jangan sampai tindakan emergensi tersebut menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkan jenis sel tumor yang dibutuhkan untuk memutuskan terapi yang tepat.
Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat
dilakukan foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila
terjadi peningkatan ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur
mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan gejala akibat penekanan
atau invasi ke struktur mediastinum. Gejala dan tanda yang timbul tergantung
pada organ yang terlibat:
-
batuk, sesak atau
stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea dan/atau bronkus
utama,
-
disfagia muncul bila
terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
- sindrom vena kava
superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang ganas
dibandingkan dengan tumor jinak,
-
suara serak dan batuk
kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis diafragma timbul apabila
penekanan nervus frenikus
-
nyeri dinding dada
muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem syaraf.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran
dan keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ
sekitarnya. Kemungkinan tumor mediastinum dapat dipikirkan atau dikaitkan
dengan beberapa keadaan klinis lain, misalnya:
-
miastenia gravis
mungkin menandakan timoma
-
limfadenopati mungkin
menandakan limfoma
Pemeriksaan radiologi
Prosedur radiologi yang bisa dilakukan untuk mendukung diagnosis adalah
foto toraks PA dan lateral, tomografi, CT-scan toraks dengan kontras,
fluoroskopi, ekokardiografi, angiografi, esofagografi, USG, MRI dan kedokteran
nuklir.
Pemeriksaan endoskopi
- Bronkoskopi harus dilakukan bila ada indikasi operasi. Tindakan bronkoskopi dapat
memberikan informasi tentang pendorongan atau penekanan tumor terhadap saluran
napas dan lokasinya. Di samping itu melalui bronkoskopi juga dapat dilihat
apakah telah terjadi invasi tumor ke saluran napas. Bronkoskopi sering dapat
membedakan tumor mediastinum dari kanker paru primer.
-
Pemerikasaan endoskopi
lainnya adalah mediastinokopi, esofagoskopi dan torakoskopi diagnostik.
Pemeriksaan patologi
anatomik
Beberapa tindakan perlu dilakukan untuk menentukan jenis tumor, yaitu
pemeriksaan sitologi dan histologi. Bahan pemeriksaan sitologi didapatkan
dengan cara biopsi jarum halus, pungsi pleura, bilasan bronkus, sikatan
bronkus, biopsi aspirasi jarum dan biopsi transtorakal. Sedang bahan
pemeriksaan histologi didapatkan dengan cara biopsi KGB (kelenjar getah
bening), biopsi Daniel, biopsi mediastinal, biopsi eksisi pada massa tumor yang
besar dan torakoskopi diagnostik.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum jinak adalah pembedahan sedangkan
untuk tumor ganas, tindakan berdasarkan jenis sel kanker. Tumor mediastinum
jenis limfoma Hodgkin's maupun non Hondgkin's diobati sesuai dengan protokol
untuk limfoma dengan memperhatikan masalah respirasi selama dan setelah
pengobatan.
Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umum adalah
multimodaliti meski sebagian besar membutuhkan tindakan bedah saja, karena
resisten terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi banyak tumor jenis lain
membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi, sebagai terapi adjuvant
atau neoadjuvan.
Syarat untuk tindakan bedah elektif adalah syarat umum, yaitu pengukuran
toleransi berdasarkan fungsi paru, yang diukur dengan spirometri dan jika
mungkin dengan body box. Bila nilai spirometri tidak sesuai dengan
klinis maka harus dikonfirmasi dengan analis gas darah. Tekanan O2 arteri dan saturasi
O2 darah arteri harus >90%.
Syarat untuk radioterapi dan kemoterapi adalah Hb > 10 gr%, leukosit
> 4.000/dl, trombosit >100.000/dl, tampilan (performance status) >70
Karnofsky.
Pada setiap kasus timoma, sebelum bedah harus terlebih dahulu dicari tanda
miestenia gravis atau myestenic reaction.
Apabila sebelum tindakan bedah ditemukan maka dilakukan terlebih dahulu
plasmaferesis dengan tujuan mencuci antibody pada plasma darah penderita,
paling cepat seminggu
sebelum operasi. Kesan yang menampakkan myesthenic
reaction sebelum pembedahan harus terlebih dahulu diobati sebagai miestenia
gravis.
EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi efek samping kemoterapi dilakukan setiap akan memberikan siklus
kemoterapi berikut dan/atau setiap 5 fraksi radiasi (1000 cGy). Evaluasi untuk
respons terapi dilakukan setelah pemberian 2 siklus kemoterapi pada hari
pertama siklus ke-3 atau setelah radiasi 10 fraksi (200 cGy) dengan CT scan atau
foto toraks. Jika ada respons sebagian (partial respons atau PR) atau stable
disease (SD), kemoterapi dan radiasi masih dapat dilanjutkan. Pengobatan
dihentikan bila terjadi progressive disease (PD).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar