28 Januari 2013

EMPIEMA


Empiema merupakan keadaan terdapatnya nanah dalam rongga pleura yang biasanya merupakan kelanjutan proses efuis parapneumonia. Efusi parapneumonia adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru dan bronkiektasis. Empiema dapat juga terjadi akibat komplikasi torakotomi, trauma toraks, perforasi esophagus, torakosentesis (aspirasi cairan pleura), proses keganasan dan infeksi kuman tuberculosis.
Rerata kematian akibat empiema sekitar 20-70%, meningkat pada usia lanjut, malnutrisi, penyakit kronik dan faktor sosial ekonomi yang menyebabkan pasien terlambat untuk mendapatkan antibiotik.

Pathogenesis
Pleura merupakan membran permeabel yang menjaga keseimbangan antara cairan masuk dan keluar rongga pleura. Cairan masuk ke rongga pleura melalui filtrasi dari ujung kapiler arteri kemudian sebagian besar direabsorbsi kembali oleh ujung jaringan vena. Akumulasi cairan rongga pleura dapat terjadi karena gangguan hukum Starling yang mengatur filtrasi dan absorbsi, gangguan drainase limfatik atau keduanya.

Cairan pleura dibagi menjadi 2 kelompok yaitu transudat dan eksudat seperti terlihat pada tabel berikut.


Transudat
Eksudat
Tes Rivalta
Negative
Positif
Protein
< 3 g/dL
> 3 g/dL
Rasio dengan protein plasma
< 0,5
> 0,5
Berat jenis
< 1,016
> 1,016
Laktat dehidrogenase (LDH)
< 200 IU
> 200 IU
Rasio dengan LDH plasma
< 0,6
> 0,6
Lekosit
< 50% limfosit / mononuclear
> 50% limfosit (TB, keganasan)
> 50% polimorfonuklear (radang akut)
pH
> 7,3
< 7,3
Glukosa
= glukosa darah
< glukosa darah (< 40)

Transudat terjadi bila kekuatan mekanik tekanan hidrostatik dan onkotik menyebabkan terjadinya filtrasi cairan melebihi absorbsi. Permukaan pleura pada keadaan ini tidak terlibat secara langsung, sebaliknya pada eksudat terjadi karena peningkatan permeabiliti kapiler misalnya pada penyakit inflamasi yang melibatkan permukaan pleura atau gangguan yang menghambat drainase limfatik.

Perkembangan efusi parapneumonia dibagi menjadi 3 fase yaitu fase eksudatif, fibropurulen dan organisasi. Pada fase eksudatif terjadi peningkatan cairan paru interstisial, perpindahan cairan melalui pleura visceral yang menyebabkan penimbunan cairan steril. Cairan ini adalah suatu eksudat dengan lekosit PMN, kadar glukosa dan pH normal. Selanjutnya akan menjadi fase fibropurulen yang merupakan cirri khas infeksi cairan pleura. Cairan pleura menjadi keruh dan terkontaminasi bakteri dan berlanjut menjadi fase organisasi atau kronik.

Empiema yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis mempunyai kadar glukosa rendah, pemeriksaan hapus darah tepi lebih banyak ditemukan limfosit serta peningkatan kadar adenosine deaminase > 30 IU/L.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan radiologis dan analisis cairan pleura yang diambil saat torasentesis. Gambaran klinis empiema biasanya gabungan tanda dan gejala pneumonia seperti batuk, badan lemah dan panas sampai menggigil. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai suara napas dan fremitus melemah pada sisi yang sakit. Pasien dengan empiema anaerob biasanya mempunyai riwayat  aspirasi, kondisi komorbid yang mendasari, hygiene mulut yang buruk dan sisa makanan yang dapat menjadi sumber penyakit. Sputum yang purulen biasanya dapat diidentifikasi kuman penyebab dan hasil pemeriksaan leukosit biasanya didapatkan peningkatan di atas 15.000/µL.



Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral mempunyai arti penting untuk diagnosis empiema. Pasien yang difoto dengan posisi berdiri, cairan pleura bebas akan terakumulasi di bagian terendah hemitoraks dan sudut kostofrenikus. Foto toraks dengan diafragma normal tetapi tampak gambaran berkantong yang terlokalisir sebaiknya juga diperiksa ultrasonografi (USG) toraks atau computed tomography scan (CT scan), terlebih bila terlihat gambaran efusi. Selanjutnya dilakukan torakosentesis, cairan yang didapat diperiksa warna, purulensi, viskositas, bau dan analisis cairan pleura. Cairan pleura berupa transudat tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan empiema adalah mengembalikan fungsi paru secepatnya dengan cara membersihkan rongga pleura dengan pemberian obat yang tepat, cepat dan adekuat serta drainase cairan dan pengembangan paru.

Obat-obatan
Antibiotik dapat mengurangi progresifitas efusi parapneumonia dan empiema. Biakan kuman hendaknya dilakukan sehingga bisa diberikan antibiotik yang sesuai. Pemilihan obat harus mempertimbangkan fungsi hati dan ginjal pasien. Jika hasil kultur negatif, antibiotik yang dipilih harus dapat melindungi masuknya kuman yang banyak di masyarakat dan kuman aerob. Sedang empiema yang didapat selama perawatan di rumah sakit, antibiotik harus berspektrum luas. Antibiotik dapat memberikan hasil yang baik pada cairan empiema stadium awal ketika pleura parietal dan visceral masih dapat bergerak bebas, viskositas rendah, jumlah sel darah putih sedikit dan belum terjadi adesi pleura.

Antibiotik yang sesuai untuk terapi tunggal yaitu golongan betalaktam dengan penghambat beta laktamase (seperti amoksisilin-klavulanat, tikarsilin-klavulanat, piperasilin-tazobaktam atau ampisilin-sulbaktam), golongan quinolon dan imipenem atau meropenem. Obat golongan sefalosporin perlu ditambah dengan metronidazol atau klindamisin jika dicurigai terdapat bakteri anaerob. Antibiotic diberikan selama 2-4 minggu, dapat diperpanjang bila drainase tidak maksimal. Selama pemberian antibiotik perlu dipantau keadaan klinis dan laboratorium.

Torasentesis
Untuk menentukan lokasi torasentesis dapat digunakan USG toraks sebagai guide marker, namun jika tidak ada maka foto toraks dan perkusi dinding dada dapat pula dijadikan pedoman. Tindakan selanjutnya berupa asepsis, anestesi daerah tindakan serta penyedotan cairan pleura dengan menggunakan jarum dan kateter.

Fibrinolisis cairan pleura
Selain antibiotik dapat pula diberikan terapi fibrinolisis cairan pleura dengan injeksi streptokinase 250.000 IU 2 kali sehari atau urokinase 100.000 IU sekali sehari melalui drainase yang sudah terpasang sehingga diharapkan dapat membatasi terbentuknya lokulasi pleura. Terapi ini sekarang sudah mulai ditinggalkan karena dapat menimbulkan efek sistemik seperti panas, lemas dan leukositosis.

Penyaliran selang dada / Water Seal Drainage (WSD)
Keputusan kapan kita akan menggunakan WSD berdasarkan pada karakteristik cairan pleura, dapat juga beredasarkan foto toraks atau CT scan toraks. Indikasi pemasangan WSD jika terdapat pus, pemeriksaan gram dan pewarnaan dengan hasil positif, glukosa cairan pleura < 40 mg/dL, LDH > 1000 IU atau pH < 7,1. Efektifitas drainase dinilai dengan menlihat kurve panas harian selama 5 – 8 hari setelah pemasangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan penanganan empiema tuberkulosis dengan penyaliran selang dada bisa anda baca pada penelitian berikut ini:

Tindakan bedah
Pasien dengan empiema fibropurulen atau organisasi memerlukan intervensi bedah karena viskositas cairan pleura dan lokasi yang multipel dapat menghalangi pipa drainase. Hal ini penting dilakukan karena keterlambatan pemasangan drain dapat menimbulkan penebalan pleura, waktu penyembuhan dan perawatan yang lama. Tindakan bedah yang dilakukan dalam tatalaksana empiema adalah Video-asisted thoracic surgery (VATS), dekortikasi dan torakoplasti.

Fisioterapi
Penanganan rehabilitasi medis diperlukan pada empiema untuk mencapai perbaikan fungsi dan kualitas hidup. Penanganann fisioterapi pascabedah berhubungan dengan mobilisasi tubuh dan fungsi pernapasan, upaya ini ditekankan pada pemeliharaan postur yang baik dan pengembangan paru yang optimal. Mobilisasi dini dipengaruhi oleh motivasi dan kerjasama penderita untuk mencapai keberhasilan fisioterapi.

Tidak ada komentar: